Era Omnibus Law: “Kesalahan Berat” Berganti Kostum “Pelanggaran Bersifat Mendesak”

Oleh : Erri Tjakradirana

Dalam Era Omnibus Law ini telah marak terjadi pemutusan hubungan kerja (“PHK”) yang didasarkan pada alasan efisiensi perusahaan dalam berbagai bentuk, baik karena right sizing, down sizing, ancaman resesi global, digitalisasi, pandemi Covid-19 yang belum berakhir dan berbagai ikhwal yang melatarbelakanginya. Contohnya PHK yang dilakukan oleh Shopee Indonesia baru-baru ini sebagaimana disampaikan oleh Head of Public Affairs Shopee Indonesia Radynal Nataprawira, “Perusahaan akan berfokus ke pertumbuhan bisnis yang mandiri serta berkelanjutan, dan kami ingin memperkuat dan memastikan operasional perusahaan kami stabil di situasi ekonomi saat ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (19/9/2022) sebagaimana penulis kutip dari detikcom. Pada intinya pengertian PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Dalam tulisan ini penulis membahas sekelumit mengenai PHK yang disebabkan pelanggaran yang bersifat mendesak yang dahulu dikenal dengan istilah kesalahan berat.

Ketentuan mengenai PHK dimaksud diatur pada beberapa peraturan perundang-undangan, baik dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) juncto UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya dalam Klaster Ketenagakerjaan (“UU 11/2020”), UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”) maupun peraturan pelaksanaannya, seperti PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”), PP No. 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan  (“PP 37/2021”), Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER.31/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Perundingan Bipartit dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Dahulu pada tanggal 28 Oktober 2004 melalui putusannya, Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004, Terbit Hari Rabu tanggal 17 Nopember 2004, Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah memutuskan terkait kesalahan berat (dringenden reden) yang diatur dalam ketentuan eks Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) sebagai ketentuan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), khususnya Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selanjutnya Surat EdaranMenteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 7 Januari 2005 sebagai petunjuk teknis akibat Putusan MK a quo. Adapun substansi dalam Surat Edaran Menakertrans tersebut diantaranya mengatur mengenai PHK dengan alasan eks Pasal 158 ayat (1) UU 13/2003 dapat dilakukan setelah adanya putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Bilapun terjadi PHK, maka Pengusaha seyogianya menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Berbeda halnya dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Mahkamah Agung (“MA”) mengambil sikap tak selaras dengan apa yang telah diputuskan oleh MK dengan menerbitkan Surat Edaran pada tanggal 29 Desember 2015 dan ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama di seluruh Indonesia. Adapun MA telah menyepakati dalam Rumusan Hukum Kamar Perdata Khusus, diantaranya mengatur PHK terhadap pekerja yang disebabkan melakukan kesalahan berat eks Pasal 158 UU 13/2003, maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (“BHT”). Dalam hal ini MA menurut pendapat penulis telah melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang terkait menafsirkan UUD 1945.

Sementara bila dibaca secara seksama Pasal 52 ayat (3) PP 35/2021, dapat ditafsirkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK tanpa didahului pemberitahuan PHK. Hal ini dimungkinkan secara hukum, jika alasan PHK disebabkan pekerja melakukan pelanggaran bersifat mendesak. Ditelisik lebih lanjut berdasarkan penjelasan Pasal 52 ayat (2) PP 35/2021 disebutkan bahwa pelanggaran bersifat mendesak dapat diatur di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Senyatanya ketentuan mengenai pelanggaran bersifat mendesak ini pada intinya adalah sama dengan yang diatur pada ketentuan eks Pasal 158 UU 13/2003 mengenai kesalahan berat (dringenden reden). Dengan perkataan lain, terlihat dengan jelas bahwasanya pembuat undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, telah melakukan “pembangkangan” terhadap Putusan MK dengan memasukan kembali ketentuan pasal yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Penulis merekomendasikan ketentuan mengenai pelanggaran bersifat mendesak agar dikeluarkan dari PP 35/2021 guna penyempurnaan. Selaras dengan ketentuan pelanggaran bersifat mendesak, agar menjadi perhatian bagi Pemerintah dan Dewan Pimpinan Rakyat Republik Indonesia atas beberapa ketentuan PHK yang mencederai rasa keadilan terhadap pekerja, khususnya ketentuan terkait kebolehan Pengusaha melakukan PHK tanpa due process of law bilamana pekerja baru diduga melakukan tindak pidana sebagaimana tercantum pada Pasal 154A ayat (1) huruf l, Pasal 160 ayat (1) dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan saat ini dan Pasal 52 ayat (2) dan (3) PP 35/2021.

Penulis: Erri Tjakradirana, S.H., seorang Advokat dan Praktisi Ketenagakerjaan, kini sedang menempuh Pendidikan Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *