Skip to content
MAGISTER OF LAW

Kekeliruan Epistemologis Terhadap “Undang-Undang Nomor 3/2020 Memproduksi Peti: Benarkah?”

Oleh: Rocky Marbun

Ada hal yang menarik ketika Saya membaca tulisan yang diunggah pada web PMIH UP dengan judul “Undang-Undang Nomor 3/2020 Memproduksi PETI: Benarkah?” Rangkaian kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan paragraf demi paragragf, yang kesemuanya membentuk suatu argumentasi untuk mendukung suatu kesimpulan yang menegaskan banyaknya pelaku Penambangan Tanpa Izin (PETI) dikarenakan hilangnya wewenang dari Kepala Daerah. Saya merasa ada nuansa keterlemparan (gowerfen-sein) atas suatu fakta bahwa pelaku PETI merupakan subyek hukum yang dapat dipersalahkan secara mandiri. Maraknya PETI dikarenakan memanfaatkan celah hukum dari UU No. 3/2020. Argumentasi tersebut tampak logis, namun ternyata terjadi kekeliruan epistemologis terhadap konsep dan penyandaran kebenaran otoritas yang memunculkan suatu bentuk fallacy yang cukup unik.

Pertama, perlu ditegaskan disini bahwa Saya tidak hendak mengatakan tulisan tersebut adalah salah atau tidak benar. Namun, ketika membaca rangkaian-rangkaian argumentasi yang memunculkan suatu pendapat bahwa telah terjadi pereduksian amanah dari konsep otonomi daerah, maka pada dasarnya, pemikiran seperti hendak mengabaikan adanya makna lain yang jauh lebih penting. Kedua, dalam artikel tersebut, disampaikan bahwa telah terjadi pergeseran politik hukum dalam pengaturan mengenai Pertambangan dan Minerba yang kembali menggunakan paradigma lama, yaitu sentralistik ketika memaknai otonomi daerah. Jenis kesimpulan demikian ini justru merupakan kesesatan berpikir (fallacy) yang disandarkan kepada kekeliruan epistemologis dalam memberikan makna terhadap wewenang itu sendiri. Sehingga, ketiga, uraian-uraian dalam tulisan tersebut—pada akhirnya, merupakan suatu bentuk kegagalan dalam memberikan makna terhadap perizinan pertambangan rakyat. Kekeliruan epistemologis tersebut muncul dikarenakan tidak adanya pemisahan pemaknaan terhadap wewenang memberikan izin dengan wewenang menentukan dan/atau menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).

Pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minyak dan Batubara (UU No. 4/2009), memang terdapat teks otoritatif yang memberikan wewenang bagi Kepala Daerah memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Namun, hal yang dilupakan adalah bahwa IPR tersebut hanya merupakan konsekuensi logis lebih lanjut setelah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menentukan dan menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) terlebih dahulu. Oleh karena itu, hal keempat, inilah yang tidak disadari oleh penulis pada artikel tersebut, bahwa munculnya PETI justru diawali dari kegagalan Negara cq Pemerintah dalam memberikan makna “wewenang” itu sendiri.

Pada Pasal 11 UU No. 4/2009 terdapat wewenang dalam bentuk “kewajiban” bagi Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Pusat untuk melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan guna mempersiapkan Wilayah Pertambangan (WP). Teks otoritatif tersebut, merupakan bentuk norma perskriptif-imperatif yang memberikan pedoman bagi Kepala Daerah untuk secara aktif mempersiapkan Wilayah Pertambangan melalui kegiatan ilmiah terlebih dahulu, tanpa menunggu adanya permohonan ataupun permintaan dari masyarakat. Urusan ini bukanlah permasalahan ada atau tidak adanya sumber daya alam yang akan ditambang. Namun, justru merupakan kewajiban bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengumumkan kepada masyarakat (Pasal 23). Pertanyaannya mengapa harus diumumkan?

Oleh karena itulah, konsep “wewenang” untuk menetapkan suatu WPR, merupakan suatu hak dan sekaligus kewajiban yang diimplementasikan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Maka, dengan demikian, jika kembali kepada pertanyaan “mengapa harus diumumkan?”, jawabannya adalah agar masyarakat memiliki pengetahuan pada wilayah-wilayah mana mereka diperbolehkan melakukan usaha pertambangan. Bahkan, baik UU No. 4/2009 maupun UU No. 3/2020, Negara diwajibkan menjamin tidak ada perubahan luasan wilayah WPR.

Kondisi yuridis normatif hari ini, semenjak munculnya UU No. 3/2020, yang dipandang sebagai ‘biang kerok’ merebaknya 2.700 PETI—data dari BPS dan KADIN, di seluruh Indonesia, adalah berkaitan dengan dihapusnya wewenang Pemerintah Daerah untuk menetapkan WPR dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Yang kemudian, dalam UU No. 3/2020, dimunculkan Pasal 9 UU No. 3/2020, yang mengubah tugas dan fungsi Pemerintah Daerah, dari penggunaan konsep “menetapkan” menjadi konsep “menentukan”. Artinya, Pemerintah Pusat hanya dapat “menetapkan” suatu WPR, jika Pemerintah Daerah—setelah berkonsultasi dengan DPRD, menjalankan kewajibanya untuk “menentukan” WPR-nya.

Alur pemikiran dalam artikel tersebut, menggunakan presuposisi bahwa dengan direduksinya kewenangan telah menjadikan marak bermuncullan PETI tanpa menggunakan basis data empirik.  Padahal, menurut Adrian Sutedi dalam bukunya Hukum Pertambangan terbitan Tahun 2011, terdapat data sebanyak 6.038 PETI (wilayah Bangka-Belitung) dari semenjak tahun 2009. Demikian pula, pada wilayah Solok Selatan, yang menurut Tim Gabungan BNPB, bahwa wilayah hutannya mengalami kerusakan parah karena PETI Tambang Emas, pada tahun 2019, sebelum adanya UU No. 3/2020. Artinya, kewenangan untuk “menetapkan” yang muncul karena konsep Otonomi Daerah pun, tidak dimaknai sebagaimana mestinya.

Hal tersebut terjadi, karena pembagian wilayah antara WP yang komersial dengan WPR, tidaklah berimbang. Kecemburuan sosial akan keberhasilan penambang-penambang bermodal memunculkan kecemburuan sosial akan upaya untuk menikmati hasil tambang di wilayah masyarakat pelaku PETI tersebut. Oleh karena itu, tidak ada cara lain adalah agar Pemerintah Daerah menjalankan wewenang tersebut, dimulai dengan memberi makna bahwa wewenang “menentukan” adalah “KEWAJIBAN” menentukan luasan WPR bagi masyarakat sekitar.

Penulis: Rocky Marbun, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta

Categories :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *