Oleh : Usman Heri Purwono

Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan munculnya program Polisi Rukun Warga (RW) yang disampaikan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri, Komjen Polisi Dr. H. Mohammad Fadil Imran, M.Si., bahwa di Era Kontemporer saat ini kepolisian memerlukan apa yang disebut Polisi RW untuk mencegah potensi kejahatan di tingkat wiwlayah RW. Sontak saja program ini mendapatkan resistensi di kalangan masyarakat. Bahkan program Polisi RW tersebut mengundang pertanyaan, misalnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Polri dengan Komisi III DPR RI, anggota Komisi III dari Fraksi PKS mempertanyakan eksistensi dan keberadaan anggaran Polisi RW tersebut dicantolkan kemana, apa program dimaksud tidak duplikasi dengan anggaran Bhayangkara Pembina Keamanan dan ketertiban masyarakat (Bhabinkamtibmas). Pertanyaan kritis terhadap Keberlanjutan Program Polisi RW tersebut, apakah dapat dilaksanakan, mengingat sebelumnya sudah ada kebijakan Bhabinkamtibmas sesuai Nomor 7 tahun 2021 yang patut diduga belum berjalan secara efektif. 

Bahkan sebelumnya telah ada konsep Perpolisian Masyarakat (Polmas) dalam bentuk FKPM (Forum Komunikasi Polisi dan masyarakat) yang merupakan Implementasi dari Konsep Perpolisian Masyarakat sesuai Perkap Nomor 7 tahun 2008. Program Polisi RW ini seakan menduplikasi Program Bhabinkamtibmas yang mengadopsi dari Konsep KOBAN dari Jepang. Saat itu Polres Bekasi sebagai Pilot Proyek, dan kini Konsep KOBAN tersebut sirna hilang ditelan masa. Terkait hal ini, penulis memperoleh informasi sahih dari Prof. Ade Saptomo yang juga pernah meluncurkan konsep original Polisi Kultural (Polisi Desa), sebuah konsep yang digagas oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila (2012-2020) itu ditujukan untuk mencegah secara dini munculnya gerakan yang membahayakan keutuhan NKRI, misalnya gerakan terorisme, radikalisme, intoleransi, dan gerakan sejenis lainnya.

Konsepnya pernah dipresentasikan di hadapan Wantimpres dan didiskusikan secara intensif di Ruang Diskusi Wantimpres RI, juga di Aula Fakultas Hukum Universitas Pancasila dengan menghadhirkan Ketua Wantimpres dan jajarannya, Ketua Pembina YPPUP, BIN RI, dan Sekda Pemerintah Daerah Kabupaten Karang Anyar. Konsep Polisi Desa tersebut diluncurkan 7 Mei 2018 secara resmi oleh Wantimpres di Kota Karang Anyar dimana Pemerintah Daerah dimaksud sebagai pilot projectnya, yaitu mendayagunakan kearifan lokal setempat dengan sebutan Polisi Jogo Boyo (Polisi Penjaga Marabahaya)- https://solo.tribunnews.com/2018/05/07/begini-proses-rekrutmen-jagabaya-atau-polisi-desa-yang-diwacanakan-untuk-karanganyar

Hal itu bebeda dengan gagasan Polisi RW dan Polmas, kedua konsep tersebut mungkin dapat dipahami jika dikaitkan dengan kondisi jumlah desa di Indonesia yang berjumlah 76.541 dan jumlah Bhabinkamtibmas 46.000 personil, maka idealnya kebutuhan personil Polri untuk pemenuhan kebutuhan Bhabinkamtibmas masih 1,66%. Artinya, 1 Polri melaksanakan fungsi Bhabinkamtibmas terhadap 2 Desa/kelurahan. Jika kebutuhan Bhabinkamtibmas untuk pemenuhan 1 (satu) desa 1 (satu) Polri, maka hitungannya masih kurang sebanyak 30.541 personil. Hal ini sangat mustahil dipenuhi dengan kebijakan pertumbuhan personil Polri yang selama ini Zero Growth, yang konon disebabkan karena keterbatasan anggaran pemerintah.

Angka tersebut merupakan kebutuhan secara de facto, belum melihat aspek duplikasi kegiatan dan penyerapan anggaran yang berpotensi terjadi oleh personil Polri karena selain merangkap tugas selaku Bhabinkamtibmas juga berperan sebagai anggota Polri yang melakukan tugas penegakan hukum lainnya, sebagaimana diamanahkan oleh UU Polri No 2 tahun 2002.  Bahkan, anggota Bhabinkamtibmas dipastikan merangkap jabatan dengan fungsi-fungsi lainnya seperti Samapta, Reserse, Lalu-Lintas, Bimmas, dan bahkan pada fungsi Staf pada komando kepolisian ditingkat Polsek, Polres maupun Polda.

Mencermati hal-tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa Program Polisi RW hanya sekedar gagasan populis yang disampaikan oleh Komjen Polisi Dr.H. Mohammad Fadil Imran, M.Si., selaku Kabaharkam Polri yang baru saja menjabat. Bahkan terkesan tanpa memperhitungkan aspek keterbatasan sumberdaya manusia dan anggaran, bahkan sense of political crisis yang seyogyanya dimiliki oleh Pejabat Polri pada masa persiapan pemilu 2024, mungkin saja akan berpotensi merugikan nama baik Polri dan Pemerintah karena dari berbagai survei dari berbagai lembaga survei public trust Polri meningkat menjadi 73,2 % sebagaimana yang disampaikan oleh Burhanudin Mutadi pada Minggu tanggal 30 April 2023 yang dimuat dalam Tempo.co 2 mei 2023.

Mencermati Undang Undang Pemerintahan Desa No 06 tahun 2014, dan Permendagri No 18 tahun 2018, pasal 6 ayat (1) tentang keberadaan RT/RW, dan kondisi budaya pelayanan yang ada serta munculnya kerawanan potensi Pemberdayaan Personil Polri di lapangan untuk kepentingan tertentu, maka seyogyanya Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si., melakukan langkah direktif terhadap Program Polisi RW yang di munculkan oleh Kabaharkanm Polri tersebut untuk lebih mengefektifkan Pola Pelaksanaan Bhabinkamtibmas yang sudah ada.

Jika tujuannya adalah terciptanya cegah dini teorisme, radikalisme, intolerasni, maka konsep Polisi Kultural di setiap desa dapat dikembangkan secara nasional, dan untuk terciptanya situasi Kamtibmas yang aman dan terkendali di tingkat Desa/Kelurahan dengan basis kegiatan di lingkungan setingkat RW, apa yang telah dilaksanakan oleh Bhabinkamtibmas sebagai unsur lembaga musyawarah desa/kelurahan tinggal ditingkatkan dan dimonitor secara berkala. Hindari kebijakan yang bersifat populis untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, namun kontra produktif terhadap perkembangan situasi dan eksistensi Polri.

Penulis: Usman Heri Purwono, advokat yang sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *