Memastikan Origional Intent Kebaya Merah: Penyakit Mental atau Profesional?
Oleh: Debora Sekar Arum
Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan rentetan peristiwa berbagai tindak pidana. Bermula dari kasus Ferdy Sambo yang sangat mencuri atensi masyarakat, Christian Rudolf Tobing yang masih bisa tersenyum lebar menyapa orang lain di Lift salah satu apartemen di Jakarta Timur ketika mendorong troli berisi mayat temannya sendiri untuk kemudian dibuang di bawah jembatan Tol Becakayu, kasus kematian satu keluarga di daerah Kalideres yang penuh misteri, hingga kasus pornografi yang dikenal oleh jagat media sosial sebagai video ‘Kebaya Merah’. Pada dasarnya kasus Kebaya Merah ini berupa konten video porno yang salah satu pemerannya adalah perempuan dengan pakaian kebaya berwarna merah. Diketahui dalam video tersebut juga terdapat seorang laki-laki yang hanya mengenakan handuk pada bagian bawah badannya dan video tersebut berlatar tempat di sebuah kamar hotel yang kemudian terkonfirmasi berada di Surabaya.
Berdasarkan keterangan dari Polda Jawa Timur diketahui bahwa laki-laki dalam video tersebut berinisial ACS dan perempuan dengan kebaya merah itu berinisial AH. Mereka merupakan sepasang kekasih yang tidak hanya memroduksi, tetapi juga berperan sendiri dalam konten video porno yang dibuat berdasarkan pesanan atau request orang lain dengan memasang tarif berbeda untuk masing-masing tema konten porno tersebut. Hasil penjualan video porno itu kemudian digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Kejadian ini lantas menghebohkan masyarakat ketika video Kebaya Merah tersebar di jagat media sosial. Diketahui bahwa AH menggunakan akun Twitternya sendiri untuk menawarkan konten-konten porno tersebut. Melalui Twitter juga ia menerima pesanan-pesanan video porno yang salah satunya memesan dengan tema Hotel Receptionist. Hal tersebut yang mendasari pembuatan video porno viral ini berada di sebuah kamar hotel. Selain itu, platform media sosial seperti Telegram juga menjadi sarana untuk AH dan ACS mengirimkan atau menyebarkan video-video yang telah dibuat.
Setelah diselidiki lebih dalam, terungkap bahwa AH mengidap penyakit mental berupa kepribadian ganda yang menurut penuturan Polisi setiap pribadinya diberi nama-nama berbeda oleh sang kekasih, ACS. Namun, terkait dengan kepribadian ganda ini pihak kepolisian belum memastikan lebih rinci karena AH masih dalam proses observasi kejiwaan. Fakta lain yang terungkap adalah konten porno Kebaya Merah ini bukan satu-satunya video yang telah AH dan ACS buat, melainkan ada 92 video porno lainnya dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Pengembangan kasus yang dilakukan oleh pihak kepolisian tidak hanya menjadikan ACS dan AH sebagai tersangka, tetapi juga perempuan berinisial CZ. Polisi mengatakan CZ diduga telah membuat kurang lebih 33 konten video porno bersama AH dan ACS yang menurut pengakuan CZ bermula ketika dirinya berteman dengan AH lalu diajak untuk membuat video-video tersebut yang disetujui pula oleh CZ sebagai bentuk pelampiasan karena CZ merasa stress dengan beban pikirannya. Menurut pihak kepolisian, keterlibatan CZ berkaitan dengan konten-konten porno yang bertemakan Threesome dan BDSM (Bondage and Discipline, Dominance and Submission, Sadism and Masochism).
AH, ACS, dan CZ disangkakan Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU ITE dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah. Selain dari UU ITE, mereka juga dijerat ketentuan pidana dari UU Pornografi yaitu, Pasal 29 juncto Pasal 4 Ayat 1 dengan ancaman hukuman penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 6 miliar rupiah, serta Pasal 34 juncto Pasal 8 dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak 5 miliar rupiah. Apabila ditelaah lebih dalam terkait dengan Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi, terdapat makna yang tidak sejalan antara bunyi ketentuan pasal tersebut dengan bunyi Penjelasannya. Hal ini menjadi menarik untuk dibahas ketika dikaitkan dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) serta bagaimana keberadaan para perempuan dalam kasus Kebaya Merah ini jika dilihat dari perspektif KBGO.
Pada dasarnya, Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi bersifat mengkriminalisasi perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan pasal tersebut. Tetapi dalam Penjelasan Pasal demi Pasal, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘membuat’ adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Bunyi Penjelasan ini mencerminkan adanya upaya untuk menghargai hak privasi seseorang, sehingga apabila ada konten pornografi yang dibuat untuk tujuan pribadi dan bukan untuk konsumsi publik atau tujuan komersil maka perbuatan tersebut tidak dapat dikriminalisasi dengan Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi karena terlindungi oleh eksistensi Penjelasan dari pasal tersebut. Terkait dengan KBGO sendiri dipahami sebagai suatu tindakan kekerasan terhadap seseorang berdasarkan gendernya yang dilakukan dengan bantuan teknologi atau terjadi dalam ranah online. Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2021-nya mengklasifikasikan beberapa perbuatan yang termasuk KBGO yakni antara lain, cyberstalking; intimidasi; pelecehan siber; pelecehan pada berbagai platform; serangan melalui komentar; mengakses, mengunggah, atau menyebarkan foto intim, video, atau klip audio tanpa persetujuan; mengakses atau menyebarkan data pribadi tanpa persetujuan; doxing; dan pemerasan seksual.
Tentunya eksistensi dari Penjelasan Pasal 4 Ayat 1 tidak bisa serta-merta dijadikan payung berlindung bagi para perempuan yang terlibat dalam kasus pornografi. Untuk itu ketika hendak menentukan status seorang perempuan merupakan korban atau pelaku, pihak kepolisian harus betul-betul memastikan tujuan sebenarnya atau original intent dari pembuatan suatu konten pornografi. Hal ini berkaitan dengan apakah pihak perempuan yang terlibat benar-benar memiliki pengetahuan bahwa pertama, adanya pembuatan konten yang mengandung unsur pornografi tersebut; kedua, apakah hal itu berdasarkan persetujuan atau tidak (consensual or non-consensual); dan ketiga, pun apabila berdasarkan persetujuan apakah perempuan tersebut menyadari motivasi dari pasangannya atau pihak lain dalam pembuatan konten tersebut adalah untuk kepentingan pribadi, publik, atau komersil. Aspek-aspek tersebut harus dipastikan oleh pihak kepolisian ketika melakukan pemeriksaan terhadap perempuan yang terlibat dalam kasus pornografi agar tidak terjadi kesalahan kriminalisasi (wrongful criminalization).
Dalam konteks kasus Kebaya Merah, dari keterangan-keterangan yang disampaikan oleh pihak kepolisian sejauh ini memang dapat dikatakan bahwa para perempuan yang terlibat dalam pembuatan konten porno tersebut tidak dapat dinilai sebagai korban, melainkan pelaku. Ini terlihat dari fakta-fakta bahwa mereka melakukan hal tersebut demi mendapat keuntungan yang kemudian dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari, perbuatan AH yang bahkan ‘mempromosikan’ aksinya itu melalui akun Twitternya sendiri, dan pembuatan video yang sudah terjadi berulang kali hingga ditemukan 92 video porno. Fakta-fakta tersebut memunculkan kesimpulan untuk menilai bahwa mereka melakukannya dengan penuh kesadaran yang ditujukan untuk kepentingan komersil.
Meskipun sejauh ini situasi yang terlihat adalah perbuatannya berdasarkan persetujuan (consensual) tetapi hal tersebut sebaiknya ditelusuri lebih lanjut oleh pihak kepolisian untuk memastikan ada atau tidaknya unsur paksaan terhadap pihak perempuan ketika melakukan ‘pekerjaan’ ini. Sebab, kondisi AH yang diduga kuat memiliki gangguan jiwa berupa kepribadian ganda dan bahkan diketahui oleh pasangannya, dikhawatirkan justru menjadi situasi yang disalahgunakan oleh ACS karena mungkin ACS melihat kondisi AH yang memiliki banyak kepribadian dapat dimanfaatkan untuk memainkan berbagai ‘peran’ yang nantinya menjadi ladang ‘cuan’. Kondisi AH yang seperti itu rentan dipengaruhi (under influence) ketika diajak membuat suatu keputusan, sehingga dikhawatirkan tercetusnya ide mencari peruntungan melalui konten porno ini tidak sepenuhnya disetujui AH berdasarkan pikiran yang jernih.
Kondisi-kondisi seperti itu yang harus menjadi perhatian bagi pihak kepolisian agar tidak salah langkah dalam menetapkan mana korban mana pelaku. Mengingat perempuan juga merupakan kelompok rentan diskriminasi berdasarkan gender, penting adanya untuk tidak selalu langsung melihat mereka dari kacamata pelaku (perpetrator). Diperlukan pemeriksaan mendalam yang penuh ketelitian ketika bersinggungan dengan kasus-kasus pornografi yang melibatkan kaum perempuan agar tidak menambah panjang daftar Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia.
Penulis: Debora Sekar Arum, sedang menempuh Magister Ilmu Hukum UGM Kampus Jakarta Konsentrasi Litigasi