Tragedi Kanjuruhan, Jangan Atas Nama Prestise Keselamatan Penonton Dikorbankan

Enam tersangka Tragedi Kanjuruhan resmi ditahan di Polda Jatim, 24 Oktober 2022. Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 359 dan atau 360 KUHP dan atau Pasal 103 ayat 1 Jo 52 UU 11 tahun 2003 tentang Keolahragaa. Adapun tiga tersangka lainnya merupakan anggota Polri, dijerat dengan pasal 359 atau pasal 360 KUHP.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagaimana dikutip dari BBC News Indonesia (2/11) menetapkan tragedi Kanjuruhan sebagai peristiwa pelanggaran HAM.

Pasca Presiden Fédération Internationale de Football Association (FIFA) Gianni Infantiono berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan Presiden Joko Widodo, menyusul tragedi Stadion Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang sebagai bencana sepak bola terburuk ke-2 di dunia setelah  Estadio Nacional di Peru pada 24 Mei 1964, dengan korban 328 jiwa, dan hasil Rekomendasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan telah kali kedua menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum Polda Jawa Timur.

      Untuk mendapatkan deskripsi utuh mengenai tragedi ini dari perspektif HAM, magisteroflaw.univpancasila mewancarai Alvon Kurnia Palma,S.H.,M.H, aktivis hukum dan HAM, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2011-2015, dan  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Sumatera Barat selama dua periode (2003-2009).

Berikut petikan wawancara Co-Hostmagisteroflaw.univpancasila,Dr.Armansyah,S.H.,M.H., dengan mahasiswa peserta Program Doktor Ilmu Hukum (S3) Universitas Andalas ini, di Teras 7 Kampus MIH Jl. Borobudur,  Menteng, Jakarta Pusat.

Dunia sepakbola nasional kembali berduka akibat kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang usai pertandingan Liga 1 antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya, pada 1 Oktober 2022. Bagaimana sesungguhnya regulasi dalam suatu event olahraga, ini case Kanjuruhan ?

Terkait regulasi, khusus dengan PSSI yang harus mengacu kepada FIFA, salah satunya adalah pengamanan yang harus dilakukan saat ada event. Yang akan dilihat nanti apakah proses penyelenggaraan sudah sesuai dengan standar-standar yang ditentukan FIFA.

Persoalan mendasar apakah yang melatari insiden Kanjuruhan ini ?

Pertama, necessity  apakah dalam proses penangangan suatu dinamika di lapangan dilakukan dengan cara-cara yang tidak memerlukan kekuatan berlebihan. Jika hasil investigasi Komnas HAM, kan supporter Aremania memberi dukungan kepada klub, yang ditanggapi berbeda. Apabila apparat keamanan mencermati apa harapan penonton, seharusnya bisa diurai atau dipisahkan agar pemain aman, dan kedua proporsionalitas, apakah dengan mengerahkan banyak pengamanan yang melakukan kekerasan terhadap supporter, terlebih penembakan gas air mata. Saya pikir hal itu sudah melebihi batas apa yang seharusnya dilakukan.

                TGIPF telah merilis rekomendasi kepada PSSI, PT Liga  Indonesia Baru, aparat keamanan dan supporter. Penembakan gas air mata sebagai pemicu jatuhnya korban jiwa apakah kejadian ini merupakan preseden buruk sebagai suatu tragedi kemanusiaan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia ?

Penembakan gas air mata bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Belajar dari pengalaman di negara lain, terutama di Peru (bencana sepak bola terburuk di dunia, Estadio Nacional di Peru pada 24 Mei 1964, dengan korban 328 jiwa). Ini pembelajaran bagi semua pihak, terutama PSSI agar mempedomani standar dan statuta FIFA. Jika dianggap tindakan pengamanan dengan penembakan gas air mata perlu dilakukan, mereka tidak belajar dari tragedi kemanusiaan akibat pengamanan berlebihan dari suatu event.

Jika tidak ada pitch invation, mungkin tidak akan terjadi kejadian ini dan aparat tidak menduga sejumlah penonton yang turun ke lapangan, sehingga tindakan menjadi tidak terduga dan tidak terukur. Saat Presiden FIFA datang berjumpa dengan Presiden Jokowi, FIFA lebih menekankan kepada tranformasi sepak bola merespons tragedi Kanjuruhan, sedangkan beberapa investigasi menunjukan bahwa hilangnya ratusan nyawa, korban yang menderita luka-luka dan trauma psikis  merupakan suatu tragedi kemanusiaan atau pelanggaran HAM. Bagaimana pandangan anda mengenai hal ini ?

Ketegasan FIFA bisa dalam bentuk larangan Indonesia mengikuti event internasional, sampai dengan memenuhi kualifikasi secara cukup untuk bisa mengamankan keselamatan dari penonton. Check list standarisasi stadion, karena ini bukan soal prestise tapi soal nyawa orang. Jangan atas nama prestise keselamatan penonton dikorbankan. Ketegasan itu bisa saja dimintakan kepada Presiden, walaupun secara hirarkis tidak terlampau ada relasi dengan PSSI. Paling tidak, PSSI menjadi bagian yang bisa disupport oleh negara, terutama pendanaan.

Apakah ini ada pelanggaran HAM, terkait hak hidup dan hak untuk merasa aman sebagai prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Apabila tidak ada standar minimal pengamanan atau telah terjadi penanganan keamanan diluar batas, sehingga  kuat dugaan ada pelanggaran HAM, walaupun belum bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

Komnas HAM akan mengusut penghapusan 3 jam rekaman CCTV saat kejadian di Stadion Kanjuruhan. Apakah lenyapnya rekaman CCTV sebagai upaya mengaburkan fakta untuk menentukan pelaku yang dianggap paling bertanggung jawab ?

Pertama, pada saat 3 jam di dalam stadion terdapat kelalaian sebagaimana diatur pasal 359 KUHP (“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”).  Yang kedua Ketika bukti itu dihilangkan, dapat dikualifikasi sebagai alat bukti karena itu bisa menyorot siapa sebenarnya yang berperan di masing-masing aktifitas selama 3 jam. Banyak meninggal terinjak-injak  harus dilihat dan ditemukan  untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas insiden tersebut.

diduga menyembunyikan barang bukti dapat dijerat secara pidana karena telah melakukan obstruction of justice, dan menghilangkan atau mensabotase alat bukti elektronik sebagaimana UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Penulis : Alvon Kurnia Palma adalah Alumni Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *