THISS: Strategi jitu Peningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Papua

Oleh: Ambassador Fredy Numberi

“Dimanapun didunia ini tidak selalu ide dan filosofi yang penting, tetapi orang yang ada di belakang ide itu yang menentukan”
(Prof. Dr. Baharudin Jusuf Habibie, The Power of Ideas, Jakarta, 2018:hal. 76)

Penulis mengutip kata Presiden RI ke-3 ini, karena ada makna bagi setiap pemimpin di Tanah Papua bahwa kesejahteraan masyarakat Papua tergantung pada para pemimpinnya, baik Gubernur sebagai kepanjangan tangan Presiden RI diwilayahnya dan para Bupati yang bertanggungjawab kepada Presiden melaljui Gubernur sesuai wilayahnya. Tanah Papua kaya raya tetapi masyarakatnya tetap miskin, hal ini menjadi paradoks tersendiri bagi Papua (lihat Bagan 1)

Dari uraian pada Bagan 1 menggambarkan bahwa pemimpin di Papua sangat memahami bahwa Tanah Papua sangat kaya tetapi belum digali potensinya karena para pemimpinnya hanya terbuai dengan Dana Otonomi khusus yang begitu besar, namun hasil yang dicapai dalam mengentaskan kemiskinan maupun mengatasi kesehatan yang buruk serta tingkat pendidikan juga masih rendah.

Disamping itu pembangunan yang ada tidak berbasis pada 7 (tujuh) wilayah budaya dengan kekhasan masyarakat lokalnya. Strategi, Kebijakan dan Program yang ada harus bersifat THISS:

  1. Tematik, tema yang diturunkan dalam bentuk Strategi, Kebijakan dan Program harus jelas;
  2. Holistik, harus menyeluruh dari awal hingga berhasil guna bagi masyarakat;
  3. Integratif, harus terintegrasi dengan baik dalam arti lintas kementerian yang ada kaitannya dengan Strategi, Kebijakan dan Program tersebut;
  4. Spasial, tataruang pembentukan harus ada dan didasarkan pada Peraturan Daerah, sehingga ganti pejabat tidak mungkin diubah;
  5. Sustainable, dalam arti Strategi, Kebijakan dan Program itu harus berhasil guna dan dilanjutkan kepada anak-cucu tanpa merusak lingkungan yang ada.

Diharapkan bahwa dengan formula THISS dapat mensejahterakan masyarakat sesuai lokalitas yang mereka miliki dengan catatan bahwa penegakan hukum harus berjalan dengan baik dan semua kasus korupsi bisa dituntaskan. Harus ada evaluasi yang dibuat setiap tahun untuk mengetahui hasil yang dicapai serta mengedepankan prinsip pengolahan keuangan yang baik, sesuai pasal 34 ayat 15 UU Otsus No.2 Tahun 2021.

Dari uraian pada Bagan-2 terlihat dengan jelas bahwa perlu diamandir Pasal 4 (ayat) 1 UU Otsus Nomor 2 Tahun 2021, dimana aliran dana yang cukup besar namun masyarakat tidak menikmati hasilnya.

Lalu dari mana kita tahu bahwa pemerintah pusat “setengah hati” dalam memberikan Otsus itu. Dari evaluasi ini dapat diketahui pada Ayat 1 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 pada Bab IV Kewenangan Daerah sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari bunyi ayat 1 pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, sangat jelas adanya pembagian kewenangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan kewenangan pemerintah Jakarta.
Provinsi Papua dan Papua Barat seakan-akan diberikan seluruh kewenangan di bidang pemerintahan.

Sebaliknya pemerintah Jakarta juga seakan-akan hanya memiliki enam (6) kewenangan saja, yaitu: kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan.
Akan tetapi, dengan adanya tambahan frasa “kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, menjadikan semuanya itu berubah. Tambahan frasa inilah yang merupakan bukti pemerintah Jakarta “setengah hati” dalam memberikan Otsus kepada provinsi Papua dan Papua Barat. Hal itu disebabkan karena dengan menggunakan frasa ini maka pemerintah Jakarta bisa keluar dan menambah dari 6 kewenangan yang sudah disebutkan dengan jelas, serta mereduksi kewenangan pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat.

Sebagai pembanding mari kita lihat UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Untuk mengakomodasi permintaan GAM untuk merdeka, pemerintah RI telah membuat UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh terlihat pada Bab IV Kewenangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota sebagai berikut:
Pasal 7:
(1) Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah.
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Dari bunyi pasal 7 UU 11 tahun 2006 tentang Provinsi Aceh sangat jelas terlihat bahwa semua kewenangan untuk menjalankan roda pemerintahan ada di tangan Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Jakarta hanya memiliki 6 kewenangan saja yaitu kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Jadi sangat jelas untuk Aceh pemerintah Jakarta hanya memiliki 6 kewenangan saja. Selain kewenangan itu adalah kewenangan pemerintah Aceh.

Hal ini berbeda dengan UU No 2 Tahun 2021, tentang Otsus Papua dan Otsus Papua Barat. Kewenangan pemerintah Jakarta selain kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama, sama seperti di Aceh, namun masih ada kewenangan tertentu lainnya yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Artinya kewenangan pemerintah Jakarta masih bisa “keluar” dari 6 kewenangan yang disebut di atas. Jadi terlihat kesan “setengah hati” dalam memberikan Otsus kepada provinsi Papua dan Papua Barat.

Itulah sebabnya ada pihak-pihak yang menyatakan kegagalan Otsus di Papua dan Papua Barat karena campur tangan pemerintah Jakarta.
Bila Pemerintah Nasional bersama rakyat Indonesia termasuk masyarakat di Tanah Papua, ingin menjadikan Otonomi Khusus sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 sebagai suatu “success story”, maka frasa “kewenangan lain yang akan diatur dengan peraturan perundang-undangan” harus di hapus pada Pasal 4 ayat (1).
(Freddy Numberi, Papua Kerikil Dalam Sepatu, Jakarta,2022:hal.258)

Hal ini tidak boleh terjadi lagi. Otsus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat harus dilanjutkan, agar mencapai apa yang sebaliknya dari pernyataan Prof. Thoby Mutis, bahwa orang Papua untuk menjadi bangsa dan warga negara Indonesia harus bermakna, yaitu sejahtera, damai, adil dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Bila ini semua dapat dicapai maka penulis yakin bahwa Memoria Passionis dapat diubah menjadi Memoria Felicitas dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jakarta, 31 Oktober 2022

Ambassador Freddy Numberi
Laksmana Madya TNI (purn)

Penulis adalah Mantan Gubernur Provinsi Irian Jaya Periode tahun 1998-2000,
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Periode tahun 1999-2001,
Menteri Kelautan dan Perikanan Periode tahun 2004-2009,
Menteri Perhubungan Periode tahun 2009-2011,
Duta Besar Luas Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Italia, Malta dan Albania, serta Wakil Tetap RI untuk Organisasi Internasional dibawah PBB Yaitu, FAO (Food and Agriculture Organization), IFAD (Interntional Fund for Agriculture Development) dan WFP (World Food Program) berkedudukan di Roma tahun 2001-2004.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *