Legalisasi Penggunaan Ganja Medis Di Indonesia
Oleh: Neysa Tania Santoso
Kalau bicara Ganja, saya jadi ingat yang terjadi pada bulan Juni kemarin, sedang viral seorang Ibu yang membawa papan bertuliskan “TOLONG, ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS” di acara car free day (CFD) di Bundaran HI. Aksi tersebut ternyata dilakukan oleh Santi Warastuti, salah satu pemohon yang pernah melakukan uji materi larangan ganja medis pada tahun 2020 namun akhirnya ditolak oleh Mahmakah Konstitusi (MK).
Ganja merupakan salah satu jenis obat terlarang. Menurut World Drug Report 2022, ganja adalah obat terlarang yang paling banyak digunakan di dunia. (UNODC, 2022) Hal tersebut karena ganja bukanlah sebuah temuan baru – termasuk penggunaannya dalam bidang medis.
Di Indonesia sendiri, ganja saat ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Narkotika”).
Menurut Lampiran I angka 8 UU Narkotika, ganja adalah tanaman yang termasuk dalam narkotika golongan I. Sesuai dengan klasifikasi tersebut, menurut Pasal 8 UU Narkotika beserta Penjelasannya, narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan hanya bisa digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta readensia laboratorium setalah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hal ini kemudian menjadi kontroversi, melihat dewasa ini, penggunaan ganja sebagai pengobatan medis dipandang perlu dalam beberapa penyakit seperti nyeri kronis, gangguan neurologis, epilepsi, dan terapi terhadap efek kemoterapi yang menyebabkan mual dan muntah bagi pasien yang tidak cocok terhadap obat antiemetik konvensional. (National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, 2017).
Hal tersebut juga didukung dengan penelitian dalam artikel yang berjudul “Use of Marijuana: Effect on Brain Health: A Scientific Statement from the American Heart Association”, dimana kandungan aktif dalam ganja seperti Tetrahidrokanabinol (THC) dan Cannabidiol (CBD) terindikasi dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti kanker dan penyakit nyeri kronis lainnya. (AHA Journals, 2022)
Putusan uji materiil yang dilayangkan oleh Santi Warastuti, Ibu yang menuai perhatian di CFD bulan Juni kemarin, dilakukan bersama Dwi Pertiwi dan Nafiah Murhayanti bersama dengan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) pada tahun 2020. Uji materiil tersebut dilakukan terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 106/PUU-XVIII/2020. Ketiga pemohon tersebut merupakan Ibu dari masing-masing anak yang mengidap penyakit cerebral palsy, Japansese Encephalitis, serta Epilepsi dan Diplegia Spactic. Meskipun penyakit yang diderita oleh ketiga anak tersebut berbeda-beda, namun kondisi nya sama yakni adanya gangguan fungsi otak (cerebral palsy) dengan gejala kejang-kejang dan membutuhkan pengobatan cannabis oil (CBD) yang terbuat dari ekstrak ganja. Namun sebelum mendapatkan pengobatan ganja, anak dari Dwi Pertiwi, menghembuskan nafas terakhirnya sebulan setelah gugatan diajukan ke MK.
Setelah kejadian tersebut, pada tanggal 20 Juli 2022, 2 (dua) tahun sejak permohonan tersebut dilayangkan, MK memutuskan untuk menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dengan pertimbangan bahwa narkotika golongan I (termasuk ganja) hanya dapat digunakan untuk tujuan pemgembangan ilmu pengetahun dan tidak digunakan untuk terapi karena mempunyai potensi ketergantungan yang sangat tinggi. Pembatasan tersebut dinilai berpotensial mengurangi korban jiwa karena hingga saat ini, menurut Hakim MK, Suhartoyo, belum terdapat cukup bukti telah dilakukannya pengkajian dan penelitian secara komprehensif. Oleh karena itu, keinginan para pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh MK untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Hal yang serupa juga ternyata sudah pernah terjadi pada tahun 2017, dimana publik dihebohkan dengan kasus penggunaan ganja medis. Fidelis Arie Sudewarto atau yang kerap disebut sebagai Fidelis, ditemukan menanam 39 (tiga puluh sembilan) tanaman ganja di rumahnya sendiri. Kendati hal tersebut dilakukan oleh Fidelis semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada istrinya, Yeni Riawati, yang menderita penyakit syringomyelia – suatu bentuk kelainan yang terjadi pada sistem saraf pusat, yaitu pada sumsum tulang belakang. (Halodoc, 2020) Fidelis ditangkap oleh Petugas Badan Narkotika Nasional (“BNN”) Kabupaten Sanggau karena ketahuan menanam ganja di rumahnya sendiri. Seiring dengan ditangkapnya Fidelis, terapi ekstrak ganja yang sebelumnya diberikan untuk peningkatan kualitas hidup istrinya juga turut berakhir. Kondisi Yeni yang semula membaik kemudian mengalami kemunduruan.
Tepat 32 (tiga puluh dua) hari setelah Fidelis ditangkap oleh BNN, Yeni menghembuskan nafas terakhirnya. Namun, kasus hukum Fidelis terus bergulir. Dimana pada Agustus 2017, Fidelis divonis 8 (delapan) bulan penjara dan denda Rp 1 Miliar atau subsider 1 bulan penjara karena dianggap memenuhi unsur dalam Pasal 111 dan 116 UU Narkotika. Perkara teresebut didaftarkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Sanggau Nomor 111/Pid.Sus/2017/Pn. Sag.
Jika kita melakukan kajian komparatif, sejumlah negara telah melegalkan penggunaan ganja secara medis. Salah satunya adalah Amerika Serikat. Food and Drug Administration (FDA) telah menyutujui obat berbasis ganja dengan nama Epidiolex setelah diuji secara klinis dapat mengurangi kejang 25-28 persen lebih besar dibandingkan obat placebo. Obat tersebut juga sudah diklasifikasikan sebagai zat Schedule V, yang artinya sudah bisa didapatkan dengan resep dokter di 50 negara bagian Amerika Serikat. Selain itu, terdapat 9 (delapan) negara lain yang telah melegalkan ganja medis yaitu Argentina, Kroasia, Siprus, Finlandia, Makedonia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya, dan Zimbabwe. (CNN Indonesia, 2022).
Polemik mengenai legalisasi ganja medis tersebut seyogyanya perlu dilihat dari kacamata politik hukum. Politik hukum sendiri merupakan unsur penting pada suatu negara dalam menciptakan kebijakan-kebijakan sesuai dengan perkembangan zaman. Dinamika perkembangan zaman tersebut menyebabkan suatu keadaan yang sebelumya belum dibutuhkan oleh masyarakat, kemudian menjadi dibutuhkan. Hal tersebut mengakibatkan kaidah hukum tidak lagi dipandang berdasarkan ius constitutum saja namun juga secara ius constituendum. Meskipun banyak kalangan yang menolak legalisasi ganja medis, tidak dapat dipungkiri bahwa dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, ganja dapat memberikan banyak manfaat, terutama di dalam sektor medis. Jika ganja medis tetap dianggap ilegal tanpa terkecuali, hal tersebut dapat menghambat perkembangan kesembuhan para pihak yang benar-benar membutuhkan.
Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi terhadap UU Narkotika karena keberlakuan UU Narkotika terhadap eksistensi ganja medis sudah tidak relevan lagi dengan kenyataan sekarang. Reformulasi UU Narkotika dapat diartikan sebagai suatu bentuk pengawasan bagi pemerintah terhadap masyarakatnya. Hal tersebut dikarenakan hukum dapat dijadikan sebagai alat untuk mengatur masyarakat (law as a tool of social engineering). Meskipun di dalam pengertian tersebut dikatakan hukum sebagai alat, namun di dalammya terletak hakekat supremasi hukum, sebab hukum sebagai alat di dalam pengertian itu adalah ‘alat mencapai tujuan negara’. (Moh. Mahfud MD, 2010).
Oleh karena itu, sesuai dengan salah satu amanat dari Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan juga sesuai dengan tiga nilai hukum menurut Gustav Radbruch yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, maka Pemerintah perlu membuat pengaturan terkait legalisasi penggunaan ganja medis bagi pihak yang benar-benar membutuhkan sebagai bentuk keadilan sosial untuk dapat berupaya menjadi sehat kembali.
Penulis: Neysa Tania Santoso, bekerja sebagai Legal Staff di Yayasan Tarumanagara Jakarta