Meninjau Ulang Nilai-Nilai Kebebasan di Indonesia: Politik Hukum Kebebasan Digital Dalam Mendorong Partisipasi Publik

Oleh : Muhammad Arif Hidayah

Regenerasi politik merupakan upaya dalam melaksanakan pembaharuan tata kelola dan kultur politik pada tingkatan organisasi hingga negara. Iklim politik pada suatu tatanan komunitas baik organisasi dan negara akan mengalami perubahan yang bertujuan untuk menciptakan suasana baru dalam hal kepemimpinan politik. Pentingnya modernisasi gaya kepemimpinan politik pada sebuah komunitas diperlukan untuk mencapai perkembangan yang sesuai dengan kebutuhan era atau zaman yang sedang dan akan dihadapi. Sejarah telah membuktikan bahwa partisipasi politik  tidak terpusat pada satu demografi khusus maupun suku atau agama, melainkan kolaborasi antar lapisan masyarakat yang menghendaki suatu perubahan politik demi kepentingan bangsa dan negara. Perubahan politik bagaikan pergantian musim yang selalu akan hadir pada waktunya, maka perubahan politik itu sendiri sudah menjadi rencana sebuah komunitas yang hidup secara bersamaan untuk keberlanjutan hidupnya.

Indonesia telah mengalami banyak fase perkembangan, baik dari sisi ketatanegaraan, ekonomi, maupun sosial budaya. Beranjak dari fase awal kemerdekaan Indonesia di mana partisipasi masyarakat, pelajar, pemimpin budaya dan adat berkumpul untuk memperjuangkan eksistensi negara Indonesia kepada dunia, hingga masa reformasi yang membuka era baru bagi perkembangan demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) telah melibatkan generasi muda pada setiap kesempatannya. Generasi muda telah dan akan selalu menjadi penerang jalan bagi masa depan yang penuh ketidakpastian. Mereka adalah penyeimbang antara gagasan lama dan harapan baru.

Sebagai digital natives, para generasi muda telah terbiasa menggunakan media komunikasi  digital untuk mengekspresikan berbagai hal seperti keluh kesah kesehariannya, advokasi terkait isu sosial, edukasi publik, hingga penyampaian pendapat politik. Terkait penyampaian ekspresi politik, pergerakan sosial yang dahulu lebih sering terjadi di jalanan, kini sudah lazim berakar melalui forum komunikasi digital. Namun, ruang gerak demokrasi pada ranah digital lima tahun belakangan ini telah mengalami ketidakpastian. Hal tersebut tidak lain karena salah satu instrumen hukum Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) juncto Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Instrumen tersebut kerap digunakan aparat penegak hukum dan sebagian kalangan masyarakat untuk mengkriminalisasi pendapat-pendapat yang diunggah dalam media sosial hingga publikasi situs web pribadi mereka.

Sebagai gambaran, pada tahun 2020, terdapat 84 kasus kriminalisasi terhadap warganet dengan instrumen UU ITE yang diantaranya mengandalkan pasal-pasal terkait ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik (SAFEnet, 2020). Maraknya kriminalisasi menggunakan UU ITE, membuat Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kejaksaaan Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia menerbitkan Keputusan Bersama tentang  Pedoman Implementasi Undang-Undang ITE yang bertujuan meminimalisir proses pemidanaan lanjut bagi tersangka dan mengedepankan proses restorative justice. Meski upaya tersebut patut diberi apresiasi, namun pada kenyataannya kriminalisasi warganet terus berlanjut hingga saat ini (SAFEnet).

Selain instrumen yang telah disebutkan di atas, akhir-akhir ini publik sedang menyoroti Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Instrumen ini tidak lepas dari beberapa catatan kritis yang mampu mengancam demokrasi di Indonesia, sebab dominasi ruang digital oleh negara mengancam kebebasan berpendapat masyarakat sipil (Suara Kebebasan, 1/6/20222). Instrumen tersebut mampu untuk memerintahkan PSE untuk memutus informasi atau dokumen yang dilarang dalam muatan peraturan tersebut. Alih-alih menciptakan ruang digital yang aman, politik hukum pemerintahan saat ini justru mengancam kebebasan berpendapat dan masa depan ruang ekspresi generasi  muda.

Pemutusan informasi yang terkandung dalam PSE sangat mampu untuk menyasar pengguna yang memanfaatkannya sebagai media berekspresi. Sebagai contoh, seorang warga negara yang memiliki kanal di YouTube dapat saja diminta untuk menghapus unggahan karena dinilai terlalu sensitif terhadap kondisi politik negara. Dalam pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen dokumen elektronik yang dilarang, permohonan tersebut dapat diajukan oleh masyarakat, kementerian atau lembaga, aparat penegak hukum, dan lembaga peradilan. Dasar pemutusan akses juga perlu pertimbangan yang mendesak, khususnya bila konten tersebut mengandung hal-hal terkait terorisme, pornografi anak, atau konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

Perlu diketahui bahwa prosedur pengajuan pemutusan akses juga tidak mudah, khususnya dalam hal permohonan yang diajukan oleh aparat penegak hukum. Permintaan akses terhadap konten komunikasi memerlukan persyaratan dan melampirkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Dasar kewenangan aparat penegak hukum
  2. Maksud dan tujuan serta kepentingan permintaan
  3. Deskripsi secara spesifik jenis data elektronik yang diminta
  4. Tindak pidana yang disidik, dituntut, atau disidangkan
  5. Aparat Penegak Hukum yang akan mengakses sistem elektronik yang diminta
  6. Surat penetapan dari Ketua Pengadilan negeri dalam wilayah mana institusi Penegak Hukum tersebut memiliki kewenangan

Meski perlindungan hukum dapat dikatakan sebanding dengan otoritas yang diberikan kepada negara dalam hal mengatur lingkup privat, namun permohonan pemutusan akses dengan alasan meresahkan dan mengganggu ketertiban umum tidak memiliki parameter yang jelas. Dokumen salinan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang ditampilkan dalam laman web Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak menyediakan penjelasan terkait apa yang dimaksud dengan “konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”. Tentunya, ketiadaan penjelasan konkrit dapat saja menjadi subjek misinterpretasi oleh berbagai kalangan. Misinterpretasi tersebut kemudian misalnya dapat saja ditujukan terhadap laporan-laporan independen oleh LSM terhadap praktik penyelenggaraan negara yang koruptif, kecurangan pemilu, kekerasan oleh aparat penegak hukum, dan seterusnya.

Bagi generasi muda, mencapai perubahan politik dimulai dari bekal ruang digital yang kaya akan sumber informasi dan kebebasan partisipasi. Itu sebabnya, reformasi dalam konteks kebebasan digital juga harus sejalan dengan kebebasan politik yang dulu menjadi semangat era Reformasi pada tahun 1998. Generasi muda sebagai pengguna internet terbanyak merupakan pemangku kepentingan utama dalam membangun iklim politik yang partisipatif dan inklusif (Katadata.co.id, 9/6/2022). Perubahan politik oleh generasi muda juga bergantung pada aturan digital yang dirancang oleh negara. Oleh sebab itu, perubahan politik hanya dapat dicapai dengan partisipasi politik yang bersinergi dengan aktor-aktor negara yang bertujuan untuk mengamankan masa depan partisipasi ruang politik generasi muda dan menciptakan rezim kekuasaan yang anti kritik. (Pernah dimuat di suarakebebasan.id, 22 September 2022).

Penulis: Muhammad Arif Hidayah, sedang menempuh Program Magister Hukum Universitas Pancasila UPPS FH-UP, Analis Hukum di Perusahaan yang menangani manajemen krisis dan risiko, pernah mempelajari ilmu Liberal Arts pada Harold Washington College di Chicago, Illinois, Amerika Serikat dan pernah meraih penghargaan sebagai  pemenang juara 1 Lomba Esai Studens For Liberty Indonesia, sebuah Nonprofit organization, Largest pro-liberty, pro-peace, pro-market student network in the world.  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *