Kemana Arah Kompolnas: Bubarkah?

Oleh: Debora Sekar Arum

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) baru-baru ini menjadi buah bibir masyarakat dan semakin dikenal oleh publik akibat kasus pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat atau Brigadir J yang diduga didalangi oleh atasannya sendiri, mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo. Alih-alih dibincangkan yang baik-baik, Kompolnas justru banjir kritikan mulai dari dianggap berpihak pada Sambo karena sempat percaya dengan skenario awal peristiwa. Keberadaan Kompolnas sendiri dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2005 yang kemudian diperbaharui melalui Nomor 17 Tahun 2011 (Perpres 17/2011). Peraturan tersebut merupakan tindak lanjut dari Pasal 37 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002).

Amanat untuk membentuk sebuah Kompolnas telah ada sejak awal masa reformasi yang dituangkan melalui Pasal 8 Ayat 2 Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia (Tap MPR). Namun, Kompolnas tidak memiliki cukup kuasa (insufficient power) untuk melakukan pengawasan terhadap Polri. Padahal dalam Penjelasan Umum UU 2/2002 dan Pasal 3 Ayat 1 Perpres 17/2011, Kompolnas hadir untuk melaksanakan pengawasan fungsional terhadap Polri. Hal ini sebagai bentuk usaha untuk mengakomodasi keinginan rakyat supaya dilakukannya transparansi, pengawasan, dan akuntabilitas institusi Polri melalui lembaga yang independen.

Dalam perjalanannya tampak peran Kompolnas semakin ironis, ketika melihat wewenang Kompolnas baik yang diuraikan dalam UU 2/2022 maupun Perpres 17/2011 ternyata memiliki banyak kelemahan yang justru membuat lembaga ini menjadi tidak bisa bekerja secara maksimal dalam melakukan pengawasan fungsional terhadap Polri. Hal lain yang menjadi perdebatan sebagai penyebab lembaga ini tidak dapat berfungsi dengan efektif adalah mengenai peran Kompolnas. Saat dengar pendapat antara Ketua Kompolnas dengan Komisi III DPR RI, Kompolnas dinilai hanya bertugas seperti mitra dari Polri sehingga Kompolnas tidak begitu diperlukan jika kedudukannya hanya sebagai public relation (PR). Menanggapi pertanyaan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) yang juga merangkap Ketua Kompolnas, Mahfud MD menjelaskan fungsi Kompolnas adalah sebagai pengawas eksternal Polri. Namun jika ada keputusan untuk membubarkan Kompolnas, ia mempersilakan jika dirasa tidak bermanfaat. Lantas, pertanyaannya jika peran Kompolnas tidak efektif, apakah pembubaran Kompolnas merupakan solusi tepat?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu dibahas terlebih dahulu mengenai 2 permasalahan utama yang dialami Kompolnas yaitu, pertama wewenangnya yang terbatas, sehingga melemahkan fungsi pengawasan; dan kedua komposisi keanggotaannya yang terkesan belum independen dan partisipatif. Jika demikian, ini berarti akar permasalahan Kompolnas adalah fasilitas (kewenangan) dan sumber daya manusia yang belum memadai. Terkait dengan masalah pertama, bahwa Polri memiliki peran dan wewenang yang sangat luas, sudah sewajarnya apabila lembaga yang mengawasi harus diberikan kewenangan yang kuat pula. Dengan tujuan, agar tidak terjadi ketimpangan relasi kuasa antara pengawas dan yang diawasi. Melihat kondisi yang ada maka penulis berpendapat sebaiknya metode pengawasan Kompolnas diperkuat melalui perluasan kewenangan agar mampu mengawasi Polri dengan efektif. Untuk mewujudkan hal tersebut harus merevisi ketentuan bagian Kompolnas dalam UU Kepolisian; atau meningkatkan status Perpres 17/2011 menjadi UU agar lembaga tersebut memiliki dasar hukum yang kuat dengan ketentuan-ketentuan yang lebih jelas.

Kemudian berkaitan dengan masalah kedua, secara sederhana susunan anggota Kompolnas terdiri atas unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat. Penulis berpendapat munculnya kesan bahwa Kompolnas tidak independen adalah ketika lembaga ini terlalu banyak diisi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Komposisi keanggotaan Kompolnas perlu didominasi oleh pihak-pihak tanpa conflict of interest. Maka sebaiknya Kompolnas diisi oleh mereka yang sudah tidak memiliki jabatan strategis lagi, hal ini terutama terkait dengan unsur pemerintah yang diambil dari ex-officio Menteri. Sebab, jika posisi-posisi strategis dalam Kompolnas diisi langsung oleh ‘pembantu Presiden’ dikhawatirkan para pejabat tersebut sebagai wakil pemerintah tidak bisa lepas dari kepentingan internal rezim. Sebagai alternatif lain, Penulis berpendapat unsur pemerintah dapat diganti dengan mengambil dari kalangan sipil, bukan Menteri aktif.

Selain itu Penulis juga berpendapat adanya anggota dari kalangan purnawirawan Polri merupakan hal yang baik agar ada suatu referensi pendapat atau pemikiran mengenai praktik sebenarnya yang pernah terjadi dalam internal Polri. Namun, sebaiknya perlu dilakukan kajian dan pertimbangan mendalam saat akan mengambil anggota dari kalangan purnawirawan, terlebih mengenai rekam jejaknya dalam masyarakat. Hal tersebut untuk menjaga agar purnawirawan yang menjadi anggota Kompolnas betul-betul seseorang yang mampu mengejawantahkan suara rakyat karena apabila purnawirawan ini adalah seseorang yang tidak dikenal oleh rakyat dan tidak dekat dengan rakyat, akan muncul kesan seperti ‘tak kenal maka tak sayang’ baik dari masyarakat ke purnawirawan tersebut maupun sebaliknya, sehingga menyebabkan anggapan purnawirawan ini tidak akan bisa memahami apa yang diinginkan oleh rakyat. Jika hal tersebut terjadi maka konsekuensinya adalah aspirasi rakyat menjadi tidak mendapatkan tempat lagi, sehingga Kompolnas akan dianggap tidak partisipatif karena tidak mampu mengakomodasi peran serta masyarakat yang berusaha menyuarakan aspirasinya.

Dengan demikian, gagasan membubarkan Kompolnas bukan arah solusi yang tepat. Sebab, eksistensinya masih diperlukan terlebih dalam pembangunan hukum nasional yang berdasarkan aspek check and balance. Tanpa adanya lembaga independen eksternal yang mengawasi Polri berarti tidak ada perwujudan check and balance. Hal ini sama seperti mencederai motivasi awal dilakukannya gebrakan reformasi di Indonesia dan lebih lanjut merupakan penyimpangan politik hukum dari dibentuknya Tap MPR di atas serta UU 2/2002. Memang ada kelemahan pada Kompolnas namun seharusnya justru kelemahan menjadi dasar kuat untuk memperbaiki lembaga ini, bukan menghilangkan eksistensinya.

Penulis: Debora Sekar Arum, sedang menempuh Program Magister Ilmu Hukum UGM Kampus Jakarta Konsentrasi Litigasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News

Previous article

MiHCaST : UNGGUL TO INTERNATIONAL