Menghidupkan Pasal Penghinaan Presiden Dalam RKUHP, Membunuh Demokrasi?

Oleh: Afifah Putri Ningdiyah

Mengacu pada perspektif politik dan hukum, persoalan antara keduanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini menjadi topik yang sangat menarik untuk diperbincangkan karena kedua hal tersebut merupakan dua variabel yang saling mempengaruhi. Indonesia telah mengalami asam garam politik yang agaknya ‘tidak sehat’. Contohnya; kasus Eggi Sudjana yang divonis bersalah di tahun 2006 karena melaporkan orang terdekat SBY menerima mobil mewah dari Hary Tanoesoedibjo oleh Hakim PN Jakarta. Eggi mengajukan banding namun gagal dan akhirnya Eggi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) namun juga ditolak. Eggi pun mengajukan perlawanan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) ke MA. MA menolak PK yang diajukan Eggi Sudjana, terpidana Kasus Penghinaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Putusan itu tertuang dalam informasi perkara MA Nomor Register 153 PK/PID/2010 tertangal 3 Agustus 2011.

Kini, Pasal penghinaan presiden sedang ramai diperbincangkan serta menimbulkang pro dan kontra. Pasal penghinaan presiden ini kembali dihidupkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Sebelumnya, pasal penghinaan tersebut telah dicabut MK di tahun 2006 dan pasal yang dibatalkan MK ini merupakan delik biasa. Kali ini pasal-pasal tersebut dirumuskan menjadi delik aduan. Dalam pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa: Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana  penjara paling lama 3 tahun 6  bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Yang jadi persoalan, akankah pasal penghinaan tersebut dapat membunuh sistem demokrasi di Indonesia? Pasal tersebut juga dikhawatirkan menjadi alat untuk membungkam masyarakat yang menyampaikan kritik pada pemerintah. Oleh karenanya, sebagai negara demokrasi, banyak pihak yang kontra dengan pasal tersebut. Dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden ini tentu membuat masyarakat menjadi was was dan bahkan menimbulkan rasa takut untuk menyampaikan aspirasi terhadap pemerintah. Hal ini mengingatkan penulis kepada gagasan dari seorang tokoh pemikir politik di era Renaissance, Niccolo Machiavelli, dalam bukunya the Prince, Bab 17 menyatakan bahwa seorang pemimpin selayaknya bisa dicintai sekaligus ditakuti. Namun jika sulit mendapatkan keduanya, lebih baik ditakuti daripada dicintai. Sebab, cinta diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri dan ikatan tersebut akan putus bila berhadapan dengan kepentingannya. Tapi, sebuah ketakutan ada karena didorong perasaan cemas akan dijatuhi hukuman. Hal itu semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan yang absolut dan stabilitas sebuah negara. Apakah ini juga berlaku di Indonesia sebagai negara demokrasi?

Dalam RKUHP tersebut, ada definisi abu-abu antara pengertian kritik dan penghinaan dari pasal-pasal tersebut yang dikhawatirkan akan dijadikan pasal karet untuk penguasa sewenang-wenang menafsirkan dan memidana pengkritik. Sehubungan dengan hal ini, sebagai alternatif solusi penulis mengemukakan bahwa pemerintah sebaiknya mengategorikan secara jelas dan terang benderang tindakan apa yang termasuk ke dalam penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Jika tidak, ini tentu akan membahayakan hak asasi setiap warga negara untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat yang telah tercantum dalam UUD NRI 1945.

Bila sudah jelas dan diwujudkan dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan bahwa menghidupkan pasal penghinaan justru akan meningkatkan kualitas demokrasi. Disini penulis merujuk pada pernyataan Guru Besar Universitas Pancasila, Prof. Ade Saptomo pasal tersebut seharusnya juga dimaknai sebagai upaya meningkatkan kualitas berdemokrasi. Penyampaian pendapat yang bercermin pada sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab, bahwa semua perkataan, ucapan, pilihan kata-kata, dan tingkah laku harus beradab. Dengan itu, menghidupkan pasal penghinaan justru dapat dimaknai sebagai upaya meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dalam berdemokrasi.

Disini dapat penulis simpulkan bahwa RKUHP pasal penghinaan presiden tidak selalu mengandung konotasi yang buruk untuk membunuh demokrasi. Hanya saja perlu diperbaiki oleh pemerintah mengenai definisi abu-abu antara kritik dan penghinaan sehingga tidak ada HAM yang dilanggar. Sebaliknya, masyarakat Indonesia yang ingin menyampaikan aspirasi maupun kritik dengan ucapan, pilihan kata, tulisan dengan kalimat yang santun dan beradab. Sehingga Indonesia bisa menjadi negara demokrasi yang tidak hanya berkualitas namun juga beradab.

Penulis: Afifah Putri Ningdiyah, S.H., adalah mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Kampus Jakarta Konsentrasi Hukum Litigasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *