Apakah Kerugian Usaha Adalah Kerugian Negara?
Oleh : Dr. Andreas Eno Tirtakusuma, S.H., M.H.
Bagi pengusaha, menjalankan kegiatan usaha tidak lain adalah untuk memperoleh keuntungan. Berlakulah hukum ekonomi, yaitu dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Sekalipun dijalankan dengan bulat tekad untuk memperoleh keuntungan, tidak jarang tujuan itu tidak tercapai sehingga si pengusaha merugi. Kata “rugi” umumnya dipahami sebagai keadaan kurang dari modal (misal karena menjual lebih rendah daripada harga pokok), atau kurang dari harga beli atau modalnya, tidak mendapat laba, tidak mendapat faedah (manfaat), ataupun tidak beroleh sesuatu yang berguna.
Dalam hal ini, kegiatan usaha pastinya tidak melibatkan hanya oleh satu pihak. Minimal ada dua pihak. Sebut saja misalnya: (dalam kegiatan jual beli) ada si penjual dan ada si pembeli, atau (dalam kegiatan sewa menyewa) ada yang menyewakan dan ada si penyewa. Gagal dicapainya tujuan bisa dialami oleh salah satu pihak atau oleh seluruh pihak yang terlibat. Bisa saja si penjual yang rugi, tetapi si pembeli beruntung. Bisa juga keduanya (si penjual maupun si pembeli) sama-sama merugi.
Adanya kerugian dapat menjadi alasan bagi yang menderita untuk melawan pihak yang diuntungkan atau pihak yang menyebabkan kerugian. Misalnya dengan mengajukan gugatan perdata perbuatan cidera janji apabila di dasarkan pada perjanjian yang sudah dibuat sebelumnya (wanprestatie of contractbreuk), yaitu yang dapat diselesaikan dengan penggantian biaya, rugi dan bunga (Pasal 1239 KUH Perdata). Bisa juga dengan alasan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yang dapat diselesaikan dengan penggantian kerugian (Pasal 1365 KUH Perdata). Selain dengan gugatan perdata, tidak jarang yang mengalami kerugian mengajukan tuntutan pidana dengan alasan penggelapan (Pasal 372 KUHP) ataupun penipuan (Pasal 378 KUHP).
Berbeda halnya apabila pengusaha menjalankan kegiatan usahanya dengan melibatkan negara/pemerintah atau dengan badan-badan usaha negara/daerah. Apabila negara/pemerintah atau badan-badan usaha negara/daerah mengalami kerugian, apakah kepada pengusaha dapat diajukan tuntutan? Jawabannya tentu gugatan/tuntutan tersebut di atas dapat diajukan. Bahkan, kerugian yang dialami dapat dianggap sebagai kerugian negara atau kerugian keuangan negara yang menjadi salah satu unsur perbuatan korupsi (Pasal 2 ayat [1] dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. UU 20/2001).
Apabila menjadi salah satu unsur perbuatan korupsi, maka si pengusaha dapat dikejar dan dijerat dengan tuntutan tindak pidana korupsi, sehingga pengusaha perlu cermat dan berhati-hati supaya saat menjalankan kegiatan usahanya tidak justru diartikan sebagai perbuatan korupsi. Diperlukan pemahaman yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan kerugian negara atau kerugian keuangan negara. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan tersebut agar pelaku usaha dapat cermat dalam melakukan kegiatannya sehingga dapat berhati-hati agar tidak terjerat kasus-kasus korupsi.
Untuk memperoleh gambaran yang gamblang, penulis akan menggunakan metode interpretasi secara sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan, atau dengan undang-undang lain, serta membaca penjelasan undang-undang tersebut sehingga dapat dipahami maksudnya. Metode ini adalah serupa dengan metode yang dikenal sebagai structural arguments, yang meneliti kata-kata dalam struktur undang-undang tertentu dan dengan mengacu pada ketentuan lain dalam undang-undang dan ketetapan lainnya. Pengguna metode ini disebut structuralist. Jika kata tertentu adalah ambigu, structuralist akan melihat ke kegunaan lain dalam ketentuan dan hukum lainnya, dalam rangka memastikan definisi yang koheren dan konsisten.
Sebelum jauh ke dalam pengertian kerugian negara atau kerugian keuangan negara, ada baiknya bila didahului dengan memahami apa yang sebenarnya dimaksud sebagai keuangan negara. Frasa kata “keuangan negara” dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan berikut: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana telah dirubah dan ditambahkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001), Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai berikut:
PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA | ||
UU 31/1999 jo. UU 20/2001 | UU 17/2003 | UU 15/2006 |
(Penjelasan Umum) Seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: Berada Dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Negara baik ditingkat pusat maupun daerah;Berada Dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara;Berada Dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Negara baik ditingkat pusat maupun daerah;Berada Dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan perusahaan yang menyertakan modal Negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara; | (Pasal 1 angka 1) Semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, dan segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut; (Pasal 1 angka 2) Meliputi kekayaan negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; (Pasal 2) Meliputi: Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;Kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;Penerimaan Negara;Pengeluaran Negara;Penerimaan Daerah;Pengeluaran Daerah;Kekayaan Negara/kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaanyang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah;Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintahan Dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah; | (Pasal 1 angka 7) Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut |
Terlihat bagaimana luasnya cakupan keuangan negara. Masuk dalam ruang lingkupnya adalah segala hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, baik terpisah ataupun tidak terpisah, baik di pemerintahan pusat maupun daerah, termasuk penyertaan modal negara, dalam perusahaan negara (BUMN) maupun perusahaan daerah (BUMD). Bahkan, kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah juga termasuk sebagai keuangan negara. Ruang lingkupnya dapat dibedakan menjadi dua: pertama, yang langsung diurus pemeritah (baik berupa uang maupun barang); dan kedua, yang dipisahkan pengurusannya, yang pengelolaannya dipisahkan dari keuangan negara, yang cara pengelolaannya dapat didasarkan atas hukum publik maupun hukum privat (misalnya: perusahaan jawatan, perusahaan umum negara dan persero). Ringkasnya, keuangan negara adalah kekayaan negara dalam bentuk apapun, termasuk hak dan kewajiban. Apabila pengusaha melakukan kegiatan usahanya dengan melibatkan keuangan negara sebagaimana maksud di atas, maka peringatan awal untuk berhati-hati sudah muncul.
Setelah mengetahui ruang lingkup keuangan negara, merujuk pada ketentuan undang-undang di atas, maka selanjutnya dapat dikaji apa yang dimaksud dengan “kerugian negara” dan “kerugian keuangan negara.” Frasa kata “kerugian negara” dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Sedangkan frasa kata “kerugian keuangan negara” ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagaimana telah dirubah dan ditambahkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
Kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Pengertian ini diberikan Pasal 1 angka 22 UU 1/2004 yang bunyinya sama persis dengan Pasal 1 angka 15 UU 15/2006. Sedangkan dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tidak diberikan definisi kerugian keuangan negara, tetapi dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (1), disinggung kerugian keuangan negara, yaitu bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Menurut penulis, yang dimaksud kerugian keuangan negara yang dimaksud dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001 adalah sama dengan yang dimaksud kerugian negara yang dimaksud UU 1/2004 dan 15/2006, sehingga pengertian yang diberikan dalam Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan dapat menjadi acuan.
Tentang hal ini, Wiyono berpendapat yang dimaksud dengan merugikan keuangan negara sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan Negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan Negara atau berkurangnya keuangan Negara (R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, 2009, h. 41). Disebut kerugian negara, apabila nyata-nyata terdapat kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang menjadi tanggung jawab bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat negara/lainnya. Kerugian yang sifatnya nyata dan pasti mengenai nilai atau uang yang hilang dan harus diganti melalui perhitungan pembukuan atau kerugian negara sifatnya nyata dan pasti mengenai nilai suatu barang berdasarkan suatu keputusan lembaga/pejabat sesuai ketentuan peraturan perundangan, misalnya: Keputusan Kepala Daerah tentang Nilai Kendaraan Bermotor atau tentang Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Dalam implementasinya, kekurangan uang tersebut antara lain dapat berupa (Badan Pemeriksa Keuangan. Prosedur Penyelesaian Ganti Kerugian Negara/Daerah. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan, 2018, h. 20):
a. Selisih pembukuan uang/barang pada pengelolaan kebendaharaan;
b. Hilangnya kendaraan;
c. Membayar harga barang lebih mahal dari nilai yang seharusnya;
d. Menerima barang dengan nilai lebih rendah dari harga yang dibayar.
Bagi pengusaha, adalah sangat penting untuk mengenal risiko kerugian dari kegiatan usahanya. Dalam hal risiko kerugian usahanya dapat masuk dalam kategori kerugian negara atau kerugian keuangan negara, maka pengusaha tersebut telah mendapat peringatan kedua. Si pengusaha harus dapat menyadari risiko dirinya dapat terjerat tindak pidana korupsi. Kerugian keuangan negara menjadi salah satu bentuk korupsi yang diatur dalam UU 31/1999 jo. UU 20/2001, yaitu sebagaimana dimaksud dan diancam dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. UU 20/2001. Opini ini dituliskan untuk mengingatkan pengusaha akan risiko kerugian usaha yang menjadi kerugian negara, yang apabila terjadi dapat berakibat pada tuntutan pidana dan stikma koruptor kepada si pengusaha.
Penulis : Dr. Andreas Eno Tirtakusuma, S.H., M.H. adalah Dosen Tetap Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila