Tidak Ada Jaminan Eksekusi Putusan Perkara Perdata Berjalan Efektif
Oleh: Ridwan Syaidi
Pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 365/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Tim, tertanggal 12 Maret 2018 Jo Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 484/Pdt/2018/PT.DKI tertanggal 25 Oktober 2018 yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah dilakukan Permohonan Eksekusi dan telah keluar aanmaning dalam PENETAPAN Nomor 25/2019 Eks Jo No. 365/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Tim Jo No. 484/Pdt/2018/PT.DKI,` akan tetapi sampai dengan saat ini tahapan proses Eksekusi terhenti. Artinya, suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dilaksanakan.
Hal tersebut di atas menggambarkan bahwa tidak adanya jaminan bahwa putusan pengadilan pada perkara perdata dapat dilaksanakan secara efektif dalam waktu yang rasional, hal ini akan mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan pengadilan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa. sebagaimana mestinya. Apa masalah yuridisnya?
Secara yuridis, untuk melaksanakan eksekusi putusan, menurut Pasal 196 HIR yang pertama kali harus dilakukan oleh ketua pengadilan adalah melakukan aanmaning. Pasal 196.
”Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai memenuhi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1), baik dengan lisan maupun dengan surat, supaya keputusan itu dilaksanakan. Kemudian ketua itu akan memanggil pihak yang kalah itu serta menegurnya, supaya ia memenuhi keputusan itu dalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selama-lamanya delapan hari”. (Rv. 439, 443; IR. 94, 113, 130.).
Menurut Pasal 196 HIR tersebut di atas putusan yang memenuhi syarat untuk dieksekusi tidak dapat dilaksanakan tanpa didahului aanmaning. Aanmaning dilakukan dalam sidang insidental yang dipimpin ketua pengadilan, yang dalam praktik, biasa berlangsung 1 (satu) kali. Hukum Acara Perdata tidak mengatur kapan sidang aanmaning harus dilaksanakan, akibatnya pelaksanaan eksekusi dapat menjadi berlartut-larut karena tidak ada batas waktu pasti yang harus dan diikuti oleh ketua pengadilan maka akan menimbulkan tidak terwujudnya kepastian hukum bagi yang memenangkan perkara perdata.
Permasalahan mengenai prosedur eksekusi juga tidak adanya dasar hukum yang secara jelas menentukan siapa yang seharusnya dibebankan untuk membayar biaya eksekusi dan kapan biaya eksekusi dibayarkan. Melihat dari kompleksnya dalam melaksanakan eksekusi putusan perkara perdata maka sangatlah perlu diatur mengenai aturan dalam hal melaksanakan eksekusi demi mewujudkan asas kepastian hukum bagi para pihak .
Hal lain yang kadangkala menghambat pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan Negeri yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah, misalnya sistem promosi dan mutasi hakim. Kerap terjadi proses eksekusi dilaksanakan dalam periode kepemimpinan 2 (dua) ketua pengadilan. Ketua pengadilan lama yang menetapkan putusan eksekusi diganti ketua pengadilan baru sebelum eksekusi dilakukan. Ini menimbulkan dua praktik di lapangan. Ketua pengadilan yang baru hanya menjalankan eksekusi yang sudah ditetapkan atau bisa meninjau kembali penetapan eksekusi.
Minimnya panduan pelaksanaan tugas bagi jurusita dalam pelaksanaan eksekusi, baik yang bersifat umum yang ada pada Hukum Acara Perdata, maupun yang bersifat kasuistis yang dimuat dalam penetapan eksekusi, mengakibatkan rendahnya keberhasilan eksekusi suatu putusan hukum hakim di lapangan. selain soal panduan pelaksanaan tugas, juru sita, pengadilan, dan ketua pengadilan negeri yang menaungi juru sita memiliki isu kelembagaan yang berlapis-lapis untuk melaksanakan eksekusi putusan perdata di lapangan.
Untuk itu, disarankan Pengadilan Negeri harus menjaga Marwah suatu putusan yang telah ditetapkan sehingga dengan kekuasaan kehakiman dapat melakukan melakukan aanmaning tanpa berlarut larut, dan setelah tak ada pelaksana terhadap putusan tersebut Pengadilan bertindak atas nama Hukum wajib melakukan eksekusi pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Penulis: Ridwan Syaidi, adalah seorang Advokat & Kurator, tinggal di Jakarta.