NARKOTIKA: Rehabilitasi Penyalah Gunanya dan Penjarakan Pengedarnya.

Oleh:  Dr. Anang Iskandar

Dalam UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika,1961 beserta protokol yang merubahnya, menyatakan bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dilarang berdasarkan yuridiksi hukum pidana, terhadap penyalah guna diberikan alternatif hukuman berupa rehabilitasi (pasal 36). UU tersebut menjadi sumber hukum dibuatnya UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berlaku sekarang ini, dimana penyalahgunaan narkotika dilarang secara pidana dan bentuk hukumannya berupa rehabilitasi.

Itu sebabnya pembuat UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, mengkriminalkan penyalah guna berdasarkan pasal 127/1, meskipun sebagai kriminal UU menjamin penyalah guna dimaksud mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4d), melalui wajib lapor pecandu (pasal 55) dan keputusan atau penetapan hakim (pasal 103). Artinya penyalah guna narkotika meskipun statusnya kriminal, dalam proses pengadilan, hukumannya berupa rehabilitasi. Tidak ada alasan hukum bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara bagi penyalahguna yang membeli narkotika untuk dikonsumsi kecuali penyalah guna tersebut terbukti merangkap sebagai pengedar.

Penyalah guna wajib menjalani rehabilitasi. UU narkotika, tidak mengenal unsur kesengajaan, turut serta atau persekongkolan dalam melakukan tindak pidana narkotika antara penyalahguna dan pengedar. Penyalah guna yang “sengaja” membeli narkotika untuk dikonsumsi seperti yang dialami oleh Nia Rahmadani Cs, menunjukan bahwa dia pecandu, penyalah guna yang “tidak sengaja” menggunakan narkotika karena dibujuk, ditipu, dirayu, diperdaya dan dipaksa menggunakan narkotika masuk katagori korban penyalahgunaan narkotika.

Demikian pula sekongkol antara penyalah guna dan pengedar, tidak dikenal dalam hukum pidana narkotika, itu sebabnya penyalahguna tidak dapat dituntut secara komulatif atau subsidiaritas dengan pengedar, karena secara khusus UU narkotika membedakan tujuan penegakan hukum terhadap pengedar dan penyalah guna. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR khususnya komisi III harus memastikan penyalah guna direhabilitasi melalui wajib lapor pecandu (pasal 55) dan memastikan bahwa penyalah guna yang menjadi sasaran penegakan hukum, hukuman berupa rehabilitasi (pasal 103); kecuali penyalah guna merangkap pengedar dihukum secara komulatif, berupa hukuman rehabilitasi dan hukuman penjara. Tempat menjalani rehabilitasi atas putusan hakim di rumah sakit dalam lingkungan Kemenkes atau lembaga rehabilitasi di lingkungan BNN untuk rehabilitasi medis, sedangkan rehablitasi sosialnya dilaksanakan di lingkungan kemensos.

Penempatan kedalam lembaga rehabilitasi atas perintah penyidik, jaksa dan hakim selama proses pemeriksaan untuk mendapatkan rehabilitasi adalah bentuk upaya paksa sebagai jaminan UU narkotika (pasal 4d). Dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, hakim diwajibkan UU narkotika yang berlaku untuk memperhatikan riwayat pemakaian narkotika dan taraf kecanduan terdakwanya (pasal 54 jo SEMA no 4/2010), wajib memperhatikan unsur yang dapat menggugurkan pidananya (pasal 55 jo pasal 128/2) dan wajib menggunakan kewenangan untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi (pasal 103).

Hakim dalam memeriksa perkara narkotika yang punya riwayat pemakaian narkotika dan taraf kecanduaan tertentu serta tidak terlibat sebagai pengedar, wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi (pasal 103 jo pasal 54). Dalam memeriksa perkara narkotika yang dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalah gunaan narkotika, hakim wajib menetapkan penyalah guna untuk menjalani rehabilitasi (pasal 127/3)

Kalau selama ini keputusan hakimnya terhadap perkara penyalahgunaan narkotika seperti yang dialami oleh Nia Rahmadani cs, ternyata dihukum penjara maka para hakim yang mengadili perkara penyalahgunaan narkotika perlu ditatar mengenai kekhususan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang secara jelas menggunakan pendekatan kesehatan dalam penegakan hukumnya.

Akibat dari keputusan hakim memenjarakan penyalah guna menyebabkan pemerintah dirugikan, terjadinya anomaly Lapas ditandai dengan terjadi over kapasitas, terjadi peredaran gelap narkotika didalam lapas, terjadi pula residivisme penyalah guna narkotika dan meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Penyalah guna juga dirugikan, mereka kehilangan masa lalunya dan penulis berharap mereka tidak kehilangan masa depannya 

Oleh karena itu, penulis berpendapat Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung segera mengambil langkah untuk memastikan bahwa penyalah guna yang sengaja membeli narkotika di Pasaran Gelap Narkotika untuk dikonsumsi dan penyalah guna yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, ditipu, dirayu, diperdaya bahkan ada yang dipaksa menggunakan narkotika, mendapatkan layanan rehabilitasi melalui wajib lapor pecandu dan rehabilitasi melalui putusan hakim. Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya. (pernah dimuat Javanewsonline.com, Jakarta, 18/ 2/2022)

Penulis: Dr. Anang Iskandar, S.H.M.H., adalah Komisaris Jenderal Polisi (Purn.) Polri, pernah sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (7/9/2015 –5/3/2016), Kepala BNN (2012), dan Alumni Fakultas Hukum Universitas Pancasila.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *