Menyoal Kekerasan Seksual Di Dunia Pendidikan: Hukuman Kebiri dan/atau Penjara ?
Oleh: Santy Wijaya
Dalam penentuan bersalah tidaknya pelaku kekerasan seksual didunia pendidikan yang saat ini sedang marak terjadi bukan persoalan mudah. Seharusnya (das sollen) tindakan kekerasan seksual merupakan pelanggaran hukum, namun pada kenyataannya (das sein) untuk membuktikan tindakan kekerasan seksual dan menghukum pelaku tindakan kekerasan seksual itu tidak mudah terutama yang berkaitan pada dunia pendidikan. Bahkan, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, mengatakan adanya kerentanan perempuan karena mengalami kekerasan, termasuk di lingkungan perguruan tinggi. Untuk itu, diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dan dibentuknya Satuan Petugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, diharapkan dapat menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual terhadap perempuan.
Apa yang dikatakan Mendikbudristek memang didukung data kongkret, misalnya contoh kasus Kekerasan seksual terhadap DR (22 Th), Mahasiswi FKIP Sejarah salah satu Universitas di Palembang- Sumatera Selatan. Kasus mencuat pada tahun 2021setelah ada pemberitaan dari seluruh media massa cetak maupun online di wilayah Sumatera Selatan. Dalam kasus tersebut, DR diduga menjadi korban dari tindakan kekerasan seksual, yang dilakukan salah satu oknum dosen AR (34 Th) yang merupakan dosen pembimbing skripsi korban. Peristiwa tersebut terjadi pada September 2021, Pukul 12.45 WIB di ruang Laboratorium, saat DR dan AR sedang meminta tanda tangan hasil bimbingan skripsi. Akibat adanya rasa simpati/empati terhadap korban yang terlambat lulus dan kekhilafan yang dilakukan tersangka sehingga terjadilah tindakan asusila dimana korban dibawah tekanan oleh Oknum dosen tersebut dan adanya kekerasan yang dialami agar menuruti kehendak oknum dosen.
Korban dan simpatisan perkara ini menginginkan dan menuntut agar hukuman kebirilah yang dapat membuat efek jera bagi para pelaku kekerasan seksual sehingga pelaku yang hendak melakukan kekerasan seksual akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya. Dalam perkara ini sangkaan pasal untuk pelaku, yaitu Pasal 289 KUHPidana Jo Pasal 294 Ayat (1) KUHPidana, sehingga ancaman hukuman bagi pelaku terhadap korban dewasa hanya maksimal dibawah 10 Tahun, daripada ancaman penjara, hanya divonis beberapa tahun dan saat keluar diduga kuat akan mengulangi perbuatannya ataupun mengancam jiwa korbannya. Dengan tuntutan tersebut diharapkan dapat memberikan pernyataan kepada publik berupa pengakuan bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual merupakan pelanggaran berat.
Upaya penyelesaiannya, pertama, telah dilakukan oleh tim internal kampus. Kampus menyatakan bahwa kasus ini harus dimusyawarahkan dengan damai/dimusyawarahkan secara kekeluargaan mengingat akan kredibilitas nama besar kampus sendiri yang mempengaruhi mahasiswa/mahasiswi lainnya dan oknum dosen tersebut memiliki dedikasi maupun pendidikan yang baik untuk fakultas di mana yang bersangkutan mengabdi. Maksud diselesaikannya secara damai dengan harapan baik pelaku maupun korban dapat sama-sama menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya dan korban bisa di wisuda hingga selesai.
Namun di pihak lain, dukungan untuk menyelesaikan kasus ini secara hukum cukup besar, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua DPRD Sumsel dan beberapa para aliansi pembela kaum wanita, bahwa tidak memberikan pengaruh atas keputusan damai terhadap kasus tersebut. Dengan demikian, perkara tersebut tetap dilanjutkan ke ranah hukum dari tahap penyidikan di Kepolisian hingga Penuntutan di Kejaksaan Tinggi Negeri Sumsel, namun untuk putusan pengadilan belum divonis saat ini.
Menurut penulis, jelas bahwa soal das sollen dan das sein itu berbeda. Das sollen adalah peraturan hukum yang seharusnya sedangkan das sein adalah peristiwa kongkret dimana peristiwa kongkret dimaksud diselimuti banyak faktor diantaranya norma sosial, budaya, politik dan lainnya. Namun demikian, sejatinya baik das sollen maupun das sein memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menentukan kebenaran obyketif, berupa rasa keadilan masyarakat. Lantas, hukum kebiri, penjara, kebiri dan/atau penjara, hakim yang menentukan.
Penulis: Santy Wijaya, adalah Panit 1 Unit 1 Subnit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan.