Sejatinya Hukum Itu Keadilan
Oleh: Prof. Dr. Ade Saptomo
Tag line indah yang terpampang di Teras Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Srengsawah, Jakarta Selatan sebagaimana terbaca dalam foto tersebut mengingatkan perjalanan reflektif intelektual pribadi penulis saat mengikuti Short Course di SOAS (School of Oriental of African Studies) University of London 1990.
Pengalaman bersama beberapa orang penghuni apartemen mahasiswa di London saat itu sedang terjebak dalam lift tua akibat macet selama puluhan menit. Mengingat ruang sempit lift dimaksud menyebabkan kami semua yang berada di dalam lift tersebut ngap-ngapan nafasnya. Kami berkipas-kipas namun toh tetap nafas ngap-ngapan. Saat itu, penulis berfikir, mengapa sudah berkipas-kipas, udara juga ada namun tetap saja nafas ngap-ngapan. Mengapa …. saat itu pertanyaan ini belum terjawab?
Kedua, pengalaman reflektif berikutnya, pada tahun 2000-an saat berada di kampung halaman, Desa Keprabon, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten dimana saya dilahirkan dan hidup hingga umur 27 tahun, hampir keseluruhan tanaman padi tidak tumbuh subur seperti saat saya masih remaja hingga dewasa di tempat yang sama, pada hal air irigrasi juga cukup. Mengapa terjadi? Namun saya menduga, apa karena terkait berdirinya Pabrik Aqua yang berada dua kilo meter arah barat dari kampung tersebut. Ketiga, saya pernah lama aktif latihan pernafasan ala Perguruan Pencak Silat Merpati Putih di Klaten tahun 1997-2004, yang diajarkan adalah menghirup udara sebanyak-banyaknya dan dialirkan keseluruh tubuh sedalam-dalamnya. Mengapa sekujur tumbuh menjadi bugar?
Pertanyaan-pertanyaaan reflektif tersebut, juga muncul ketika penulis melihat, mengikuti, bahkan sesekali menonton langsung persidangan suatu perkara tertentu di kantor pengadilan, semua yang berperkara baik pidana maupun perdata, alasannya mencari keadilan. Jadi, keadilan itu, menurut mereka, ada dalam putusan hukum hakim. Penulis, bahkan diantara kita sering mendengar dan melihat warga masyarakat ‘modern’ yang merasa atau sedang diperlakukan tidak adil, menempuh jalur hukum.
Jalur hukum dimaksud adalah berperkara di kantor pengadilan dan disana berupaya keras mencari dan ingin menemukan keadilan melalui saluran proses-proses peradilan yang tersedia (pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi, dan kasasi). Ini menggambarkan bahwa, mereka memiliki pandangan filosofis bahwa keadilan sebagai kebenaran universal itu ada dalam putusan pengadilan.
Fakta bahwa mereka mencari keadilan melalui proses peradilan demikian ini biasa hidup dalam madzab Sociological Yurisprudence. Jikalau hukum diartikan sebuah putusan pengadilan, sebagaimana lazimnya di Negeri Anglo Saxon, maka mereka meyakini keadilan dan kebenaran itu ada dalam putusan pengadilan. Sebaliknya, sebuah putusan pengadilan yang tidak berisikan keadilan dan kebenaran dipandang sebagai putusan yang tidak memiliki makna apa-apa, kering makna, paling maknanya hanya sebatas kepastian bahwa suatu perkara telah diselesaikan.
Narasi reflektif alinea pertama itu secara ontologis membawa arah pemikiran bahwa (1) sejatinya air itu mineral, mineral itu ada dalam air, tanpa mineral maka air tidak bermakna apa-apa. (2) Sejatinya udara itu oksigen, oksigen itu ada dalam udara, tanpa oksigen udara tidak bermakna apa-apa. (3) nalar dan alur berfikir (1) dan (2) membawa pada sebuah sintesa bahwa keadilan itu ada dalam putusan pengadilan, tanpa keadilan putusan pengadilan tidak bermakna apa-apa. Jika putusan pengadilan dipandang sebagai hukum, maka itulah yang dimaksud Sejatinya Hukum itu Keadilan.[]