Antara Ruang Siber dan Ruang Digital
MANA yang benar, ruang siber atau ruang digital? Pemahaman dua istilah ini sangat penting agar tidak melahirkan narasi yang kemudian menjadi ambiguitas makna. Apalagi jika pemangku kebijakan seperti Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang menggunakan istilah itu. Jika terjadi perbedaan antara ucapan dan pemahaman, maka merembet ke beragam kebijakan hingga regulasi.
Presiden menggunakan istilah “ruang digital” dalam kaitannya dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Disebutkan bahwa UU ITE memiliki semangat awal untuk menjaga agar “ruang digital” Indonesia berada dalam kondisi bersih, sehat, beretika, dan produktif. Disampaikannya saat memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin (15 Februari 2021).
Substansi pembahasannya adalah implementasi UU ITE yang harus adil. Sebelum masuk ke substansi, maka penting melihat pemahaman pada pilihan kata yang dipilh oleh Presiden Jokowi. Jika merujuk pada “digital”, maka dalam Google terlacak satu kata berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu digitus yang berarti jari jemari. Normalnya, jumlah jari jemari adalah 10 (sepuluh). Angka ini terdiri dari dua radix, yaitu 1 dan 0..
Itulah sebabnya kata “digital” merupakan penggambaran suatu keadaan bilangan dari angka 1 dan 0 atau off dan on (bilangan biner). Komputer menggunakan sistem digital sebagai basis datanya yang disebut “bit” atau binari digital. Seperti itulah rumusan sederhana dari kata digital. Bagaimana memahami dua kata “ruang digital”? Mungkin presiden memiliki pertimbangan tersendiri dalam memilih metoforis tersebut.
Lalu, bagaimana dengan istilah “ruang siber”? Pada buku karya Werner J Severin dan James W Tankard Jr yang berjudul Communication Theorie: Origins, Methods, & Uses in the Mass Media, disebutkan ruang siber (cyberspace) yang ditemukan oleh penulis fiksi ilmiah William Gibson telah menjadi istilah yang sering digunakan untuk merujuk pada ranah metaforis komunikasi elektronik.
Jika mengaitkan ke dalam konteks perundang-undangan yaitu UU ITE, maka tak cukup hanya menggunakan satu metaforis “ruang digital” saja, sebab itu hanya merujuk pada konsepsi basis data komputer. Peraturan memang mewajibkan setiap teknologi digital yang digunakan harus memiliki standar keandalannya sehingga tidak merugikan publik yang berinteraksi di dalam ruang siber. Artinya ada penambahan “ruang siber” yang menjadi tempat interaksi.
Kendati demikian, substansi yang menjadi bahan renungan dari pernyataan Presiden tentu saja benar adanya, “bahwa negara kita adalah negara hukum yang harus menjalankan hukum yang seadil-adilnya, melindungi kepentingan yang lebih luas, dan sekaligus menjamin rasa keadilan masyarakat”. Pernyataannya berkaitan pada ramainya anggota masyarakat bergesekan dalam wilayah hukum dengan UU ITE sebagai landasannya.
Sebetulnya, di satu sisi, ramainya masyarakat menggunakan UU ITE itu juga menunjukkan kesadaran hukum masyarakat. Mereka lebih memilih ranah hukum, dibanding saling bully dan menghujat dan main hakim sendiri. Artinya, tujuan untuk kesadaran hukum masyarakat pada titik ini menemukan tempatnya.
Namun, undang-undang juga memiliki tujuan untuk membangun budaya hukum pada setiap anggota masyarakat. Artinya, hukum menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari. Menjadi refleksi dalam berinteraksi. Prof Ade Saptomo, dalam bukunya Budaya Hukum dan Kearifan Lokal, menyebutkan budaya hukum terwujud dalam akal budi yang menggerakkan tindakannya dalam masyarakat, artinya sikap dan perilakunya menjadi cerminan budaya hukum yang merasukinya.
Jika budaya hukum ini belum menjadi jiwanya sebagai anggota masyarakat, maka undang-undang dapat digunakan untuk tujuan negatif. Misalkan, ketika ada orang yang mengkritik kebijakan pemerintah melalui sarana media sosial, maka ada orang yang menggunakan undang-undang tersebut untuk membungkamnya. Padahal, tujuan mengkritik itu sendiri adalah positif sebagai kontrol sosial di ruang siber.
Karena itu, pada implementasi hukum sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi, maka alat ukur yang paling penting bisa dilihat melalui teori sistem hukumnya Lawrence Friedman, yaitu substansi, struktur, dan kultur. Substansi di sini adalah berkaitan dengan materi undang-undang itu sendiri, kemudian struktur adalah berkenaan dengan apparat pelaksana undang-undang, dan sedang kultur adalah bagaimana masyarakat meresponsnya.
Berkaitan dengan respons presiden yang memerintahkan kapolri beserta seluruh jajarannya untuk lebih selektif dalam menyikapi dan menerima pelaporan yang menjadikan UU ITE, ini adalah bagian dari penyempurnaan pada aktivitas pelaksana undang-undang.
Kemudian, ketika presiden menyatakan akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat RI bersama-sama merevisi UU ITE jika dirasakan belum dapat memberikan rasa keadilan, presiden menegaskan akan meminta kepada DPR untuk bersama merevisi UU ITE sehingga dapat menjamin rasa keadilan di masyarakat, maka ini adalah bagian dari substansi hukum.
Sebetulnya, masyarakat menggunakan UU ITE juga disebabkan hukum yang berkaitan dengan siber, yaitu hukum telematika, masih memiliki ruang kosong. Salah satunya adalah belum kelar-kelarnya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di DPR. Bahkan DPR sama sekali belum membahas Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber.
Padahal, dua undang-undang tersebut sudah sangat mendesak untuk segera diberlakukan di Indonesia. Semestinya, DPR bertindak progresif dalam menyikapi kebutuhan publik yang berkaitan dengan kegiatan sehari-harinya yang kini sudah berada di ruang siber yang serba digital.
Jadi mana yang benar, ruang siber atau ruang digital?[]
Penulis: Nurlis Effendi | Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id
Artikel ini sudah dipublis di kanal opinion Cyberthreat.id