Oleh: Lulus Purna Malintang
Pada awal tahun ini, tepatnya Rabu (2/2/2022) pernah terselenggara giat dengar pendapat antara Komisi XI DPR RI dengan OJK di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Komisi XI DPR RI pun juga sudah merumuskan aturan main yang memberi kewenangan lebih kepada OJK untuk menyelesaikan kasus-kasus keuangan secara informatif dan berintegritas. Kewenangan dimaksud tertuang dalam pasal di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK menyebutkan bahwa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: (1) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, (2) Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, (3) Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
Namun jika mencermati Pasal 9 huruf c terdapat frasa “tindakan lain” yang tidak dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 serta berdasarkan batasan yang telah dijelaskan sebelumnya dikhawatirkan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan pengawasan”. Frasa demikian ini dapat membuka peluang luas bagi OJK di samping wewenangnya melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, terdapat juga Tindakan lain yang tidak dijelaskan lebih lanjut. Dalam perpsektif hukum frasa ini menimbulkan ketidakpastian. Lebih-lebih Tindakan lain yang dimaksud ini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai kriteria dan batasannya.
Berdasarkan Analisa penulis terhadap data kualitatif hasil wawancara dengan pejabat OJK, terkait batasan tindakan lain dalam Pasal 9 huruf (c) Undang-Undang OJK adalah tindakan-tindakan pembinaan yang dilakukan agar Lembaga Jasa Keuangan di Pasar Modal dapat memenuhi hak dan kewajibannya serta bertanggung jawab terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Dimana tindakan-tindakan tersebut dilakukan dengan mengacu dan berpedoman terhadap tujuan dari dibentuknya OJK serta tindakan tersebut dilakukan dalam rangka untuk mewujudkan tujuan dibentuknya OJK.
Namun tindakan pembinaan terhadap pelaku di sektor Pasar Modal, khususnya mengenai Tindakan Perintah Tindakan Tertentu dalam bentuk Pembatasan Kegiatan Usaha sebagai bagian dari Tindakan Pembinaan dirasa belum memiliki Batasan yang jelas. Hal tersebut menimbulkan perbedaan penafsiran dikarenakan Pembatasan Kegiatan Usaha juga merupakan bagian dari Sanksi Administratif. Hal tersebut dapat menimbulkan perbedaan penafsiran diantara para pihak pengawas di sektor Pasar Modal karena dalam menerapkan Perintah Tindakan Tertentu dan Sanksi Administratif para penegak hanya melakukan interpretasi pribadi terhadap penerapan ketentuan tersebut. Pada titik ini, dapat menyebabkan ketidakpastian hukum sebagai asas utama di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Atas dasar penjelasan tersebut, Penulis berpendapat bahwa agar supaya Pasal 9 huruf (c) diberikan suatu rumusan yang jelas mengenai maksud dari frasa “tindakan lain” agar memberikan sebuah kepastian hukum dengan segera memberikan peraturan pelaksananya. Hal tersebut dilakukan agar ke depannya tidak terjadi sebuah kerancuan yang menyebabkan multitafsir dalam menafsirkan pasal yang memiliki frasa “Tindakan lain”, dimana multitafsir sebuah pasal tersebut dapat bertentangan dengan Asas yang melandasi OJK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, yaitu Asas Kepastian Hukum. Selain itu, secara konstitusionalitas, tidak akan menabrak jaminan yang harus ada dalam negara hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Penulis: Lulus Purna Malintang, adalah alumnus FH Brawijaya, kini menekuni dunia kewirausahaan SPBU sebagai Wakil Direktur CV. Sapto Makmur