Oleh: Karen Agustiawan
Pada tulisan sebelumnya (12/5/2022) telah berhasil menghadirkan pembaca terkait uang kripto yang jumlahnya cukup mengesankan dan tidak sedikit dari mereka meminta untuk lebih dijelaskan lagi terkait keberadaannya di Indonesia. Terutama pembaca masa kini, yang disebut dengan Generasi Alpha, respon mereka merepresentasikan sebuah generasi yang kental dengan teknologi internet. Untuk menjelaskannya, dimulai dari salah satu exchange atau tempat pertukaran uang kripto, yaitu Indodax (dengan alamat indodax.com). dari sini diketahui bahwa hingga 11 Desember 2020 total akun yang terdaftar ada di kisaran 2,3 juta. Angka ini memang jauh apabila dibandingkan dengan total penduduk Indonesia. Namun menurut Oscar Darmawan, CEO Indodax, transaksi harian di Indodax pernah menembus angka 1 triliyun rupiah ketika anggota atau pemilik akun sekitar 1,1 juta.
Angka trilyunan tersebut menghenyak pikiran penulis. Betapa tidak, mengingat saat ini masih terdapat pertentangan perspektif dalam melihat uang kripto. Di satu sisi Bank Indonesia menempatkannya sebagai “uang digital” sehingga dilarang sebagai alat pembayaran, sementara Kementerian Perdagangan menempatkannya sebagai “aset digital” sehingga diperbolehkan untuk diperdagangkan pada Bursa Berjangka. Dua Lembaga yang sangat kredibel namun dalam melihat objek yang sama berbeda pandang, tentu menimbulkan keraguan penggunaan acuan hukum. Lantas, apa yang harus dilakukan terkait keraguan tersebut?
Atas dasar pertanyaan tersebut, Bank Indonesia menjawab kebutuhan masyarakat dengan mengedepankan “prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai” dan memperhatikan “perluasan akses, kepentingan nasional dan perlindungan konsumen” (Konsideran PBI 18/40/PBI/2016). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, yang memiliki tanggungjawab untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank, mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran yang di dalamnya mengatur mengenai uang kripto dengan sebutan sebagai virtual currency.
Dengan peraturan tersebut, sebetulnya Bank Indonesia telah menjawab ambiguitas legalitas hukum atas uang kripto karena apabila didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, uang kripto memenuhi unsur persyaratan minimum sistem elektronik yang dilegalkan di Indonesia. Peraturan Bank Indonesia lainnya, Nomor 18/40/PBI/2016 juga masih amat terbatas dalam mengatur uang kripto. Hanya ada satu pasal yang secara normatif menyatakan bahwa virtual currency dilarang dalam penyelenggaraan sistem pembayaran (pasal 34).
Walaupun di lapangan, telah beredar jenis-jenis uang kripto yang cukup populer, misalnya Bitcoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, dan Ripple. Namun dalam peraturan ini virtual currency dimasukkan kedalam kategori “uang digital”. Uang kripto ini dilarang karena tidak diterbitkan oleh otoritas yang berwenang. Artinya, ada larangan melakukan kegiatan sistem pembayaran dengan menggunakan virtual currency karena bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.” Peraturan lain yang juga menyebut mengenai virtual currency adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik. Dengan demikian, menurut Bank Indonesia, baik uang elektronik maupun virtual currency merupakan uang digital. Perbedaannya, uang elektronik dipandang sah, sementara uang kripto dipandang tidak sah sebagai alat pembayaran.
Lain halnya dengan Kementerian Perdagangan. Dengan latar belakang untuk memberikan upaya perlindungan bagi masyarakat dan kepastian hukum terhadap uang kripto, kementerian ini menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (crypto asset). Dalam regulasi ini ternyata terdapat pergeseran ketetapan atau definisi dimana uang kripto tidak lagi disebut sebagai “uang digital”, melainkan “komoditas”. Ini artinya, aset kripto “dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka” (pasal 1). Regulasi ini kemudian secara teknis diikuti dengan Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (crypto asset) di Bursa Berjangka.
Dengan mengubah uang kripto sebagai “barang dagangan”, maka keuntungan dan resiko dari pergerakan harga dan nilai tukar dialihkan kepada investor atau anggota Bursa Berjangka. Namun demikian, aset kripto yang dapat diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang ketat. Masih ragu, Asset digital or uang digital. Untuk itu, saran dari penulis adalah perlunya bagi pemerintah cq. Otoritas terkait untuk melakukan penyelarasan hukum terkait uang kripto dengan melibatkan berbagai stakeholders. Dengan demikian, hukum terkait cryptocurrency menjadi sederhana serta mencerminkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Penulis: Karen Agustiawan, adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Konsenstrasi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pancasila