Force Majeure diantara Pandemi dan Perang Rusia-Ukraina

Oleh : Dr. Armansyah, S.H., M.H. C.Med.

Paulus J Karu, S.H.

 

Kondisi Global

Pada saat ini dunia usaha hampir merasakan dampak yang memaksa dalam menjalankan praktik bisnis untuk lebih berhati hati, mengetatkan ikat pinggang, menunda dan bahkan membatalkan langkah ekspansi ataupun melakukan penjadwalan ulang dan membatalkan perjanjian baik sebagian maupun sebagian hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat  bersifat teknis maupun nonteknis, diantara dampak Pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan.

Status pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam yang dipertegas dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional semakin memperkuat bahwa pandemi adalah peristiwa yang tidak cterduga sebelumnya, mendistorsi peradaban, nyawa manusia yang tidak terselamatkan, lumpuhnya ekonomi, serta mendegradasi sinergitas dan kohesi sosial.   

Demikian halnya dengan perang Rusia dan Ukraina, yang berdampak langsung maupun tidak langsung dan telah dirasakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dimana dampak yang paling terasa adalah pada perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang energi. Dimana harga minyak mentah melambung tinggi terjadi kelangkaan minyak mentah. Invasi Rusia ke Ukraina pada akhir Februari telah membuat pasar energi terguncang. Rusia adalah pengekspor minyak dan produk terbesar di dunia, dan Eropa sangat bergantung pada bahan bakar Rusia, jumlahnya bahkan lebih dari 40%.

Mengutip voaindonesia.com, ”Nyatakan Force Majeure, BUMN Rusia Gazprom: Terhentinya Pasokan Gas Eropa di Luar Kendali”. Gazprom yang memonopoli bisnis gas di negara itu, dan akibat rilis tersebut menambah kekhawatiran negara-negara Eropa bahwa Moskow mungkin tidak akan kembali mengalirkan gas melalui jaringan pipa tersebut setelah masa perbaikan selesai sebagai tindakan pembalasan atas sanksi yang dikenakan pada Rusia karena perang di Ukraina. Hal tersebut dapat meningkatkan krisis energi yang berisiko membawa kawasan itu ke dalam resesi.

Presiden Vladimir Putin memperingatkan negara-negara Barat bahwa penerapan sanksi lanjutan terhadap Rusia terkait agresi di Ukraina berisiko memicu bencana kenaikan harga energi bagi konsumen di seluruh dunia. Putin mengatakan bahwa seruan Barat untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas energi Rusia telah membuat pasar global “bergejolak” dengan lonjakan harga minyak dan gas.

Konsep Force Majeure

Konsep force majeure atau keadaan memaksa atau overmacht dapat mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sebagai berikut.

Pasal 1244

Jika ada alasan untuk si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya.

Pasal 1245

Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkannya, atau karena hal – hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Namun demikian, walaupun konsep force majeure di atur dalam KUHPerdata, definisi force majeure sendiri tidak ditemukan secara eksplisit dalam KUHPerdata. Hal ini masih perlu dikaji. Oleh karenanya, para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan kondisi kejadian yang termasuk dalam klasifikasi force majeure sepanjang tidak bertentangan dengan kondisi “di luar kemauan dan kemampuan para pihak”.

Dalam praktik, klasifikasi kondisi force majeure yang umum dicantumkan dalam suatu kontrak kerja antara lain :  bencana alam berupa gempa bumi, kebakaran, angin topan, angin puyuh, banjir bandang atau aktivitas vulkanik; peperangan baik dinyatakan atau tidak, terorisme; pemberontakan, kerusuhan massal, huru hara, perebutan kekuasaan, gangguan sosial, pemogokan atau lock out baik dalam konteks politis maupun hubungan industrial.

Adapun bila kita lihat dalam unsur unsur dalam force majeure ini terbagi dalam :

Pertama, unsur “peristiwa yang tidak terduga”. Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai force majeure apabila keadaan tersebut tidak terduga akan terjadi atau tidak dapat diprediksi sebelumnya oleh para pihak. Terkait dengan Covid-19, Perang antara Rusia – Ukraina adalah peristiwa tidak diprediksi sebelumnya (unpredictable).

Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Inonesia Nomor 75.K/MG.03/DJM/2022 memutuskan dan menetapkan harga rata-rata minyak mentah Indonesia untuk bulan Juni 2022 ditetapkan sebesar US$117.62/barrel, sedangkan harga minyak mentah di Indonesia di tahun 2021 ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Inonesia Nomor 138.K/HK.02/MEM.M/2021 memutuskan dan menetapkan harga rata-rata Minyak mentah Indonesia untuk bulan Juni 2022 di tetapkan sebesar US$72.17/barrel.

Dengan kondisi ini memaksa banyak perusahaan yang terikat kontrak tidak dapat lagi menjalankan kontrak tersebut bukan karena lalai namun keadaan yang memaksa yang terjadi akibat dampak perang Rusia Ukraina yang menyebabkan harga minyak mentah naik secara drastis. Presiden Joko Widodo sebagaimana diberitakan liputan6.com mengatakan tahun ini dunia menghadapi situasi yang sulit. Bahkan, semua negara akan menghadapi situasi yang semakin sulit pada 2023 akibat krisis ekonomi, pangan, dan energi. Presiden  mengatakan dirinya mendapat bisikan tersebut saat berbincang dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa  Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF), dan Kepala Negara G7 terkait kondisi dunia pada 2023.

Kedua, unsur “tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur”. Terjadinya pandemi Covid-19 dan perang Rusia – Ukraina adalah keadaan diluar kendali para pihak. Oleh karenanya, keadaan pandemi yang terjadi saat ini dan dampak perang Rusia – Ukraina tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Ketiga, unsur “tidak ada itikad buruk dari debitur”. Terhalangnya debitur untuk memenuhi prestasi bukan disebabkan karena kesengajaan, kelalaian maupun adanya iktikad buruk dari debitur melainkan karena keadaan pandemi dan perang Rusia – Ukraina. Pandemi Covid-19 dan perang Rusia – Ukraina adalah keadaan yang tidak diharapkan oleh semua pihak. Apabila tidak ada pandemi dan Perang Rusai – Ukraina, para pihak tetap berkomitmen untuk memenuhi kewajiban kontraktual masing-masing dan melaksanakannya dengan iktikad baik.

Keempat, unsur “keadaan itu menghalangi debitur melaksanakan prestasi atau kewajiban”. Suatu keadaan dikatakan sebagai force majeure apabila terjadinya keadaan tersebut menghalangi debitur untuk melaksanakan prestasi atau kewajiban. Hal ini harus dilihat dan

dinilai secara kasus per kasus karena dari kejadian ini ada pula perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari situasi dan kondisi Pandemi atau perang antara Rusia dan Ukraina.

Penulis : Dr. Armansyah, S.H., M.H. C.Med., adalah Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan Paulus J Karu, S.H., adalah Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *