Oleh: Febri Diansyah

Kasus suap yang melibatkan oknum penegak hukum pada paroh kedua tahun 2022 ini mengingatkan penulis pada diskursus pemberantasan korupsi di Indonesia pada umumnya, khususnya pemahaman dan penerapan yang tepat tentang Gratifikasi. Hal ini selain disebabkan karena ruang lingkup gratifikasi yang terlalu luas, batasan boleh dan tidak boleh yang kabur, dan sulitnya membedakan antara gratifikasi dengan suap, pertanyaan yang seringkali tidak dapat langsung dijawab adalah ketika larangan gratifikasi dipertentangkan dengan kearifan lokal sebagai nilai-nilai kultural yang hidup dalam tradisi masyarakat Indonesia. Apakah delik gratifikasi berdampak menghapus atau saling meniadakan kearifan lokal sebagai nilai budaya untuk saling memberi dan menerima yang telah hidup ratusan tahun dengan berbagai corak yang ada? Atau, sebaliknya, apakah terdapat celah hukum penerapan pasal gratifikasi dengan keberadaan nilai budaya yang hidup dalam sistem sosial masyarakat Indonesia?
Ketentuan pidana yang menyebut istilah gratifikasi secara eksplisit memang relatif tergolong baru dalam hukum Indonesia. Hukum positif mengatur gratifikasi sebagai delik pidana sejak tahun 2001 melalui Pasal 12B Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sebagai sebuah delik pidana, ketentuan tentang gratifikasi ini memiliki ancaman pidana, namun di sisi lain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) juga mengaturnya sebagai bagian dari pencegahan korupsi, khususnya terkait dengan kewajiban Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara melaporkan penerimaan gratifikasi paling lambat 30 hari kerja pada KPK.
Berikut pengaturan selengkapnya Pasal 12B UU Tipikor:
- Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
- yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
- yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasitersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
- Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), ko pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Persoalannya, jika hanya membaca definisi gratifikasi dalam Penjelasan Pasal 12B UU Tipikor, maka ruang lingkup gratifikasi masih sangat luas, mulai dari soal bentuk, nilai, tempat pemberian, sarana pemberian atau metode penerimaan secara langsung atau tidak langsung. Jika dihubungkan dengan penerima gratifikasi yang dimaksud adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka seolah-olah berarti pegawai negeri atau penyelenggara negara dilarang menerima apapun dari siapapun. Hal ini tentu merupakan pemahaman yang keliru dan tidak tepat dan bahkan akan menimbulkan persoalan hukum lain di kemudian hari.
Ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan dipandang bertentangan dengan kearifan lokal sebagai nilai budaya Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan sederhana, apakah seorang pejabat dilarang menerima pemberian dari saudara kandung atau saudara sekampung atau dalam acara adat selalu menjadi diskusi yang tidak terselesaikan jika hanya membaca aturan yang terdapat di dua Undang-undang tersebut. Di satu sisi nilai baru yang dibuat oleh pembentuk undang-undang sejak tahun 2001 melalui UU Tipikor ingin mengatur salah satu masalah inti dari penyelenggaraan negara selama ini, yaitu memerangi tradisi penerimaan gratifikasi, namun di sisi lain, terdapat pandangan, rumusan pasal yang tidak jelas berpotensi melanggar atau bertentangan dengan nilai kultural yang hidup dalam sistem sosial Indonesia. Dalam konteks inilah, studi tentang antinomi menjadi relevan. Sudikno Mertokusumo mendefenisikan antinomi sebagai pertentangan antar nilai yang menimbulkan konflik, akan tetapi keduanya saling membutuhkan.
Dihubungkan dengan pokok persoalan yang dibahas dalam penulisan ini, konsepsi antinomi nilai dapat dijadikan cara pandang untuk menemukan jalan tengah dari rumusan UU Tipikor dan UU KPK yang seolah-olah melarang gratifikasi atau pemberian dalam bentuk apapun pada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan konteks kearifan lokal yang hidup di masyarakat Indonesia.
KPK-RI membuat pengecualian yang dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (3) Peraturan KPK No. 2 Tahun 2019, pemberian yang tidak wajib dilaporkan, diantaranya:
- pemberian dalam keluarga, yaitu kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/menantu, anak angkat/wali yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan, sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan;
- karangan bunga sebagai ucapan yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran, kematian, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan;
- pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap pemberi.
Dengan demikian, jika suatu pemberian dimaksud dilakukan dengan pendekatan antinomi nilai, dimana pemahaman keduanya digabungkan atau disandingkan, maka dapat dicarikan pembatasan-pembatasan sebagai “jalan tengah”. Jalan tengah dimaksud sebagai norma yang dituangkan kedalam sebuah peraturan baru yang berlaku terhadap seluruh Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara di Indonesia.

Penulis: Febri Diansyah, S.H., adalah Juru Bicara KPK RI (2016-2022), dan kini Advokat yang sedang menempuh Pendidikan Magister Ilmu Hukum FH UGM Kampus Jakarta