Oleh : Partomuan Saulus Rivai Hutapea
Tragedi Kanjuruhan terjadi 1 Oktober 2022 lalu. Namun, kesedihan akibat tragedi yang menyayat hati tersebut, masih terus berlanjut. Adalah Farzah Dwi Kurniawan, salah satu korban yang usai kejadian dilarikan ke Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang untuk mendapatkan perawatan intensif. Ia sempat bertahan beberapa pekan. Namun, takdir ternyata berkata lain. Mahasiswa Universitas Malang (UMM) itu harus menghembuskan napas terakhir pada hari Ahad tanggal 23 Oktober 2022, menyusul 134 korban lainnya. “Yang mati dan cacat serta sekarang kritis, dipastikan itu terjadi karena desak-desakan setelah ada gas air mata yang ditembakkan Polisi, itu penyebabnya,” ujar Ketua TGIPF Mahfud MD. Tragis, memang.
Tragedi ini menambah coreng moreng wajah institusi kepolisian. Betapa tidak, sebelum kasus ini “meledak”, wajah kepolisian telah terlebih dahulu tercoreng akibat kasus pembunuhan sadis Brigadir Yosua di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Akibat kasus ini, tak hanya dicopot dari Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo juga dipecat dari kepolisian. Sambo dan empat tersangka lainnya, yaitu Putri Candrawathi, Bharada E, Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Ma’ruf dijerat pasal Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun. Belum lagi tuntas kasus Kanjuruhan, wajah kepolisian kembali tercoreng dengan kasus narkoba yang menyeret-nyeret nama Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa. Teddy disebut-disebut sebagai pengendali dalam peredaran narkoba. Sekitar 5 kilogram sabu menjadi barang bukti yang digelapkan.
Hattrick kasus ini benar-benar membuat reputasi kepolisian di mata publik, terjungkal balik. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada polisi yang awalnya tinggi, bahkan sangat tinggi, seketika, terjun bebas alias anjlok. Bahkan, banyak pihak menilai kepercayaan publik kepada polisi saat ini berada di titik nadir.
Institusi Polri berada dalam kondisi SOS. Karena itu, sejumlah kalangan lantang berteriak agar Polri segera berbenah diri dan menuntut agar Polri fokus pada reformasi institusi secara menyeluruh. Sebagian mengusulkan agar Polri mengubah mekanisme dan sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal di lingkungannya. Yang lainnya mengusulkan agar Kapolri menggandeng tokoh masyarakat dan melepaskan institusi Polri dari bisnis haram narkoba, judi dan suap.
Sah-sah saja pembenahan dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah dengan melakukan reformasi tersebut, polisi tidak akan lagi bertindak melanggar hukum? Dengan mengubah sistem pengawasan internal, apakah yakin polisi tidak tergiur nyemplung ke bisnis haram narkoba, judi, korupsi, suap dan gaya hedonis? Dengan kata lain, apakah semua pembenahan di atas benar-benar menyentuh akar persoalan yang melilit kepolisian belakangan ini?
Boleh jadi penulis salah. Tapi, bukan pula pesimis, apalagi skeptis. Usulan pembenahan polisi selama ini, masih terkesan live service, tambal sulam, belum menyentuh ke akar persoalannya. Karena itu, penulis kok tidak yakin reformasi total yang digembar-gemborkan tersebut benar-benar menjadi problem solver yang jitu. Bila berhenti hanya pada mengubah sistem pengawasan internal, belumlah cukup kuat untuk mereinkarnasi “watak sangar” kepolisian menjadi “santun dan berwibawa”.
Lantas, bagaimana solusinya? Pertanyaan ini patut untuk dijawab sebagai bagian dari pembenahan dan kecintaan kita kepada Polri. Menurut penulis pembenahan institusi kepolisian wajib menyentuh akar rumput persoalannya, yaitu soal posisi dan kewenangannya di pemerintahan. Sebagaimana mafhum, pada masa Orde Baru, TNI dan Polri terintegrasi di Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI). Saat itu, posisi polisi setara dengan tiga angkatan lainnya, yaitu angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. Di samping ABRI ada juga Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) yang biasanya dijabat oleh tentara. Kondisinya berubah pasca reformasi di mana Polri dipisahkan dari TNI, bahkan Dephankam diubah menjadi Departemen Pertahanan, belakangan berubah menjadi Kementerian Pertahanan, yang bertugas melakukan fungsi koordinasi dengan TNI saja.
Sejak saat itu, Polri menjadi institusi mandiri nan jumawa. Hal tersebut terlihat dari berbagai perundangan yang memberikan kewenangan besar bagi Polri. Pasal 30 ayat 4 UUD NKRI 1945 menempatkan Polri sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum. Bahkan, secara eksplisit, Pasal 8 UU Nomor 2 tahun 2002 menyebutkan kepolisian dipimpin oleh Kapolri dan berada langsung di bawah Presiden. Hal ini sejalan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 yang menyebutkan bahwa Polri menupakan alat negara yang berfungsi mewujudkan keamanan dalam negeri dan berada langsung di bawah Presiden.
Penulis menilai pemberian kewenangan yang berlebihan inilah yang menjadi salah satu akar kalau tidak mau disebut “biang kerok” munculnya berbagai “penyakit kronis” di tubuh Polri belakangan ini. Kewenangan yang besar, terlebih lagi lost pengawasan menjadi pemicu timbulnya abuse of power atau penyalahgunaan wewenang yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Karenanya, mustahil berharap adanya perubahan watak Polri bila hanya melakukan pembenahan secara internal tanpa membenahi posisi dan kewenangan Polri yang sangat besar dan tidak proporsional.
Jadi, bila kita benar-benar mencintai Polri, maka harus ada keberanian lebih dari pemangku kebijakan atau pemegang kekuasaan untuk menyegarkan kembali kewenangan dan posisi Polri di pemerintahan agar lebih proporsional, wajar dan terhormat. Meskipun untuk ke arah sana harus dengan jalan merevisi UUD, TAP MPR, UU dan Peraturan Presiden. UUD, TAP MPR, UU bukanlah kitab suci yang tak bisa diubah. UUD, TAP MPR, UU merupakan peraturan yang luwes dan dinamis mengikuti perkembangan masyarakat. Bila posisi dan kewenangan Polri disegarkan dan dilanjutkan dengan pembenahan internal, maka kita bisa berharap besar watak Polri yang “sangar” dapat berubah menjadi “berwibawa.
Penulis: Partomuan Saulus Rivai Hutapea, alumni FH Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan saat ini sedang menempuh Magister Kenotariatan Universitas Pancasila