Menciptakan Budaya Patuh Berlalu Lintas Bagi Pengiring Jenazah

Oleh : Ramania

Designed by Freepik

SUARA sirine ambulans merupakah hal yang sudah familiar ditelinga masyarakat Indonesia. Entah sedang mengantar orang sakit, jenazah, atau hal darurat lainnya. Membahas ambulans tentu tidak lepas dari sejumlah warga masyarakat yang turut serta terlibat untuk membuka akses jalan bagi ambulans tersebut, hubungan antara ambulans dan pengiring juga merupakan dua hal yang sangat erat kaitannya. Dengan menggunakan atribut seadanya, pengiring jenazah berani untuk menghadang berbagai kendaraan yang ada didepan demi memberikan prioritas jalan bagi ambulans tersebut.

Misalnya, seperti yang pernah terjadi pada Kamis, 17 Maret 2022 di Jalan Raya Cilincing, Tanjung Priok – Jakarta Utara. Kala itu Penulis hendak berangkat kerja yang berlokasi di Harapan Indah – Bekasi. Namun dalam perjalanan penulis mengalami pengalaman kurang mengenakkan dari salah seorang pengiring jenazah.

Pengiring jenazah biasanya didominasi oleh pengguna kendaraan roda dua, karena lebih mudah untuk mendapat posisi paling depan guna memberhentikan kendaraan lainnya. Namun tidak sedikit dari pengiring jenazah yang melakukan aksinya dengan arogan, misalnya dengan memacu kecepatan tinggi, berteriak, dan memukul kendaraan lainnya, yang sebenarnya hal tersebut membahayakan diri mereka sendiri. Tidak hanya itu, mereka seringkali Penulis temui tidak menggunakan peralatan keselamatan dalam berkendara, seperti helm, kaca spion, serta knalpot kendaraan yang telah dimodifikasi.

Dilihat dari segi sosial, iring-iringan jenazah ini tidak ada salahnya, karena sedang membantu prioritas jalan bagi ambulans dan pengiringnya. Meninjau Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur mengenai prioritas jalan yang sebenarnya ambulans dan pengiringnya memang masuk kedalam pengguna jalan yang memperoleh hak utama.

Bunyi Pasal tersebut ialah :
Pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan sesuai dengan urutan berikut:
a.      Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;
b.      Ambulans yang mengangkut orang sakit;
c.      Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas;
d.      Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;
e.      Kendaraan pimpinan dan Pejabat Negara Asing serta Lembaga Internasional yang menjadi tamu Negara;
f.       Iring-iringan pengantar jenazah; dan
g.      Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Memang, jika merujuk pada dasar hukum diatas ambulans dan pengiring jenazah merupakan pengguna jalan yang memperoleh hak utama. Tetapi sangat disayangkan seringkali rombongan pengiring jenazah melakukan tugasnya dijalanan dengan arogan, sehingga tidak sedikit yang membahayakan diri sendiri maupun pengendara lain.

Pada Pasal lain dipertegas bahwa rombongan iring-iringan ini harus diawasi dalam pengawalan petugas yang berwenang atau disertai dengan isyarat atau tanda lainnya. Hal ini terdapat di Pasal 65 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, yang menyatakan bahwa : (2) Kendaraan yang mendapat prioritas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dengan pengawalan petugas yang berwenang atau dilengkapi dengan isyarat atau tanda-tanda lain.

Terdapat pengecualian yang terkandung didalam ketentuan ini bahwa iring-iringan jenazah memang diperbolehkan tetapi harus adanya petugas yang berwenang seperti kepolisian dalam pengawalan, serta adanya isyarat atau tanda-tanda lain dalam pemberhentian kendaraan lainnya dijalanan. Meskipun diketahui ada aturan mengenai prioritas fasilitas jalanan untuk pengiring jenazah tetapi diharapkan agar tetap tertib berlalu lintas dan tidak bersikap arogan.

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa penanganan ketertiban lalu lintas terhadap seluruh pengguna jalan termasuk pengiring jenazah perlu ditindak lebih tegas lagi, pengiring jenazah seharusnya mendapat perlakuan yang sama dalam upaya penegakkan hukum berlalu lintas, atribut keamanan berkendara harus selalu digunakan oleh siapapun dan dalam kondisi apapun, serta didukung oleh kondisi kendaraan yang memenuhi standar berlalu lintas dan cara berkendara yang tidak arogan.

Mengingat Pasal 65 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 di atas tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, iring-iringan jenazah seharusnya melalui pengawalan petugas, atau setidaknya menggunakan tanda atau atribut lainnya yang mengisyaratkan bahwa mereka merupakan pengguna jalan yang memperoleh hak utama. Selain tanda atau atribut, seharusnya Polisi lalu lintas memberikan sanksi tilang terhadap pengiring jenazah yang melanggar aturan keamanan berlalu lintas dijalanan, seperti yang tidak menggunakan helm, yang memacu kendaraan diatas normal, dan yang kendaraannya tidak memenuhi standar berlalu lintas (tidak ada spion, knalpot dimodif, dan penggunaan lampu strobo). Dengan demikian akan tercipta budaya kepatuhan berlalu lintas dalam kondisi darurat sekalipun.

Penulis: Ramania S.H., bekerja sebagai Corporate Lawyer di Perusahaan Hisana Group Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *