Menaikan Kelas UMKM Melalui Pengawasan Kemitraan
Oleh: Asmah
Isu meningkatkan kesejahteraan rakyat merupakan isu strategis nasional bahkan internasional. Di Indonesia misalnya, ada Kementerian Koperasi dan UKM yang mengemban Amanah terkait upaya peningkatan kesejahteraan dimaksud. Namun sebelum upaya riil peningkatan kesejahteraan telah tersedia data-data valid, dimana kementerian dimaksud telah mencatat jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) mencapai 65,47 juta unit pada tahun 2019, sementara usaha berskala besar hanya 5,637 unit setara 0,01%, secara garis besar bahwa dari 340 juta jiwa penduduk Indonesia, jumlah pengusaha UMKM mencatat 19 juta jiwa dengan income pendapatan kepada negara sebesar 500 – 600 Triliun. Data tersebut merupakan suatu hal yang besar sehingga dalam upaya peningkatan diperlukan suatu pengawasan kemitraan dalam untuk memaksimalkan dan menjadikan UMKM semakin maju dan jaya di Indonesia.
UMKM merupakan salah satu elemen penting dalam sistem perekonomian suatu negara, elemen penting ini merujuk kepada usaha ekonomi produktif yang dimiliki perorangan maupun badan usaha sesuai dengan kriteria yang di tetapkan Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dengan UMKM memberikan banyak lapangan kerja bagi warga masyarakat dan dapat meningkatkan kelas UMKM dalam konteks perekonomian nasional secara menyeluruh. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan agar dalam upaya menaikkan kelas usaha UMKM tidak merugikan pelaku usaha dan pedagang kecil?
Kemitraan merupakan konsep jitu dalam upaya menaikkan kelas. Tentu, Hanya dalam perjanjian kemitraan tersebut harus ada pihak yang mendampingi dalam proses perjanjian tersebut, bahkan peran pemerintah lewat dinas koperasi dan UMKM sangat dibutuhkan untuk menghindari high resiko (resiko tinggi) dari masing-masing pihak khususnya pihak pengusaha kecil dalam hal ini UMKM.
Teh manis, Bakso dan Mie Ayam
Perjanjian pengawasan kemitraanuntuk memberikan kesetaraan mengacu pada pembagian yang sama dari segi pendapatan yang di dapatkan untuk menjadikan pengusaha UMKM dapat naik kelas. Misalnya, agar jualan minuman Teh Manis lebih menarik maka di butuhkan kemasan dan sarana pemasaran yang lebih baik, begitupun dengan Bakso dan Mie Ayam, ketiga komoditi makanan ini merupakan dagangan yang hampir ada di seluruh daerah baik perkotaan maupun pedesaan yang paling banyak digemari oleh seluruh kalangan sehingga pemasaran dan kemasan dalam bentuk yang lebih moderen dan cepat saji dapat dilakukan, misalnya dalam bentuk Francise.
Jika dilakukan dengan model Francise sebaiknya kemitraan antara pengusaha UMKM dengan pemodal besar untuk membuka usahanya dapat dilakukan dengan bentuk pengawasan kemitraan yang sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Model ini bisa menguntungkan kedua belah pihak. Kalaau tidak dikhawatirkan pemangku kepentingan akan menjadikan komoditas UMKM sebagai komoditas empuk untuk dijadikan ‘gorengan’, Untuk itu, KPPU sebagai lembaga independen yang diberi amanah oleh undang-undang harus melakukan pengawasan agar tercipta kesetaraan hasil (eguality of results) dengan mengacu pada pembagian yang sama, pendapatan, pekerjaan, kontrak dan penghargaan materi.
Contoh UMKM di Yogjakarta, bahkan di Kawasan Asean, terdapat 94,6% UMKM memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah tersebut (data kementerian koperasi 2019). Berdaarkan data badan pusat statistik dan data kementerian Koperasi dan UMKM bahwa pasca pandemi Covid 19 UMKM yang melanda seluruh kawasan di Asean, sektor UMKM mampu bertahan dan mampu menyerap 85 juta sampai 107 juta tenaga kerja sampai akhir tahun 2021, menunjukkan bahwa sektor UMKM adalah sektor perekonomian di kawasan ini khususnya negara-negara berkembang masih mampu bertahan.
Penulis berpandangan bahwa dengan adanya dukungan peraturan perundang-Undangan tentang UMKM dari pemerintah, maka perjanjian diatur dengan baik mulai dari syarat, kecakapan dan hal yang di perjanjikan. untuk itu dalam sebuah perjanjian yang dilakukan bagi UMKM dan pemodal diperlukan sebuah pembaharuan perjanjian agar kedua belah pihak merasa diperlakukan adil dengan adanya perjanjian tersebut, yaitu: 1. perlunya kejelasan antara jenis usaha, modal yang tepat sasaran dan pembagian keuntungan yang jelas; 2. perlunya pendampingan dari pemerintah setempat dan dinas terkait untuk menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan aturan, pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan dari KPPU sehingga cita-cita untuk menaikkan kelas bagi pelaku usaha UMKM dapat terlaksana dengan baik.
Memperhatikan hal-hal tersebut diatas, sudah saatnya kiranya pemerintah pusat dan daerah serta lembaga terkait dalam hal ini KPPU melakukan sosialisasi berkala, dan kajian mendalam atas berbagai isu terkait dengan UMKM dengan mempertimbangkan kondisi, modal dan sarana serta prasarananya. Tantangannya memang tidak mudah, mengingat sektor usaha selalu berubah-ubah sehingga dibutuhkan suatu terobosan pembaharuan perjanjian kemitraan yang adil, tepat sasaran dan mampu meningkat gairah UMKM sehingga harapan bahwa UMKM dapat naik kelas dapat terpenuhi.
Penulis : Dr. Asmah, S.H., M.H. adalah Dosen Fakultas Hukum Unversitas Sawerigading Makassar, aktif sebagai penulis buku dan jurnal Nasional, Internasional serta pemerhati persaingan usaha sehat di Indonesia