Oligarki Melahirkan Mafia Pertanahan?
oleh: Cynthia Ardanentya
Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Hadi Tjahjanto, kini menjabat sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Tugas utama selepas dilantik oleh Presiden Republik Indonesia (RI) di Istana Negara pada Rabu (15/06/2022), adalah memberantas Mafia Pertanahan di Seluruh Indonesia. Masih dalam ingatan, tahun 2021, ada kasus penggelapan tanah Nirina Zubir yang diduga melibatkan mantan asisten rumah tangganya dengan kerugian mencapai Rp 17.000.000.000. Penggelapan yang dilakukan dengan bantuan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menyita perhatian publik karena menunjukkan mafia tanah masih ada hingga saat ini.
Kasus Nirina Zubir bukan kasus mafia tanah yang terjadi pertama kali pada tahun tersebut. Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mencatat sepanjang 2021 terdapat 63 kasus kejahatan mafia tanah yang telah diselesaikan. Bahkan sejak 2018 hingga 2021 setidaknya terdapat 130 kasus mafia tanah yang diterima.
Mafia, dalam KBBI, dipahami sebagai perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan. Mengutip pernyataan Nurhasan Ismail, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, mafia tanah merupakan sebuah kelompok terstruktur yang mempunyai susunan organisasi dengan melibatkan banyak peran dan pembagian kerja yang sistematis berdasarkan susunan organisasi (https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5823494/mafia-tanah-merajalela-ini-peluang-dan-cara-membrantasnya-dari-pakar-ugm 4 September 2022).
Mafia tanah dapat terdiri dari sponsor yang bertugas menyumbang dana serta mempengaruhi kebijakan dan instansi pemerintah, garda depan yang dilakukan secara legal oleh masyarakat dan maupun pengamanan swakarsa yang dilakukan secara ilegal oleh preman, serta kelompok profesi yang terdiri dari advokat, notaris-PPAT, dan pejabat pemerintah pusat hingga daerah yang memberikan dukungan perampasan tanah masyarakat. Kelompok mafia tanah yang masih ada hingga saat ini merupakan salah satu bukti bahwa politik oligarki masih hidup dalam sistem demokrasi pancasila dan menyebabkan kemunduran bagi semangat demokrasi di Indonesia.
Oligarki pertama kali muncul pada politik pertanahan zaman Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, yang terkenal membagi-bagikan tanah kepada orang terdekatnya. Pada Orde Baru, politik oligarki bersifat predator, jejaring kekuasaan melibatkan kepentingan bisnis dan politik birokrat yang menggunakan kekuasaan lembaga untuk mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan sosial. Meskipun zaman Orde Baru telah tiada, politik oligarki masih tetap hidup dengan bentuk dan cara kerja yang sedikit berbeda dengan zaman sebelumnya tetapi masih dengan karakter sama sebagai predator. Sebagaimana dikemukakan oleh Jeffrey A Winters, seorang Profesor Northwestern University dalam Oligarki (bahasa: Zia Anshor, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm 50), bahwa oligarki memiliki dua dimensi yaitu dimensi pertama oligarki mempunyai sifat dasar kekuasaan besar secara sistemik walaupun memiliki status minoritas dalam sebuah komunitas dan dimensi kedua oligarki mempunyai sifat dasar kekuasaan dan kekayaan material yang sangat sulit diseimbangkan dan dipecah.
Oligarki yang menghidupi mafia pertanahan di Indonesia termasuk dalam dimensi kedua yang sangat sulit diseimbangkan dan dipecah. Hal ini karena sistem demokrasi di Indonesia masih dikuasai oleh kelompok elit yang mendukung oligarki sehingga terciptalah demokrasi tanpa demos, yaitu kekuasaan tertinggi tidak lagi berada ditangan rakyat melainkan berbalik ditangan para pejabat. Apabila ditelaah, hal ini bukan merupakan kesalahan demokrasi melainkan kurangnya penegakan hukum. Dalam proses penegakan hukum terhadap mafia tanah seringkali ditemui beberapa kendala seperti pejabat BPN belum dapat memberikan data dan informasi terkait dengan warkah penerbitan sertifikat tanah, akses cek lokasi dipersulit, Notaris/PPAT belum dapat memberikan informasi karena harus menunggu persetujuan MKN yang membutuhkan waktu lama.
Selain penegakan hukum, dari administrasi hukum pertanahan juga memerlukan pembenahan. Administrasi hukum pertanahan yang belum terintegrasi dapat disalahgunakan oleh mafia tanah lewat bukti dari sumber administrasi yang berbeda-beda. Salah satu peraturan yang hingga saat ini masih memberikan celah bagi mafia pertanahan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 24 ayat (1) bahwa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dalam bukti tertulis berupa grosse akta hak eigendom, akta ikrar wakaf, atau girik dapat digunakan untuk memperoleh hak atas tanah. Pasal ini memberikan monopoli kekuasaan yang besar pada Panitia Ajudikasi dan Kepala Kantor Pertanahan untuk mempercayai keterangan saksi atas pembuktian kepemilikan. Tidak hanya itu, Pasal 24 ayat (2) memberikan hak atas tanah kepada orang yang telah menguasai sebidang tanah secara berturut-turut selama 20 tahun atau lebih yang diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. Kedua ayat tersebut tidak memberikan tolak ukur yang jelas mengenai pemaknaan “kepercayaan” atau “dapat dipercaya” sehingga benih oligarki akan terus tumbuh melalui pasal ini.
Saat ini pemerintah memiliki program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang diterbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 sebagai instrumen yang diharapkan pemberantas mafia pertanahan, namun implementasinya masih sangat sulit dilakukan dan terkesan hanya berfokus pada kuantitas yang dapat mengabaikan kualitas. Hal ini terbukti masih adanya kasus mafia tanah, salah satunya di Kabupaten Bogor pada Agustus 2022 dimana 6 (enam) pelaku pemalsuan penerbitan PTSL, salah satunya merupakan ASN dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor.
Meskipun berbagai peraturan administrasi hukum pertanahan telah diterbitkan, keterlibatan oknum pemerintah dalam sindikat mafia tanah tetap tidak dapat lepas. Menggeser politik oligarki dari sistem hukum pertanahan membutuhkan komitmen yang kuat dari berbagai lembaga dan kementerian terkait dalam penanganan kasus mafia tanah, seperti ATR/BPN, kepolisian, dan kejaksaan, termasuk oleh profesi Notaris/PPAT dan advokat. Selain itu, menurut penulis dibutuhkan peraturan khusus berupa undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana mafia tanah. Peraturan ini dapat mengadopsi KUHP maupun undang-undang terkait lainnya yang dapat mencakup seluruh lembaga, kementerian, dan profesi terkait sehingga proses penegakannya dapat memberikan kepastian hukum.
Penulis: Cynthia Ardanentya, S.H., bekerja di PT Asuransi Astra Buana, sedang menempuh Program Magister Ilmu Hukum FH UGM Kampus Jakarta.