Oleh: Ferry

Pada tanggal 29 Mei 2023, dalam suatu pertemuan antara Presiden dengan pemimpin redaksi sejumlah media serta content creator, Presiden menyatakan bahwa dalam Pilpres 2024 “demi bangsa dan negara ke depan, saya akan cawe-cawe”. Hal tersebut seketika membuat heboh ruang publik di Republik ini, sekalipun muncul kemudian banyak klarifikasi yang dilakukan oleh Presiden dalam berbagai kesempatan, antara lain dalam konferensi pers Pembukaan Rapat Kerja Nasional III PDIP di Lenteng Agung, Jakarta, tanggal 6 Juni 2023, Presiden menyampaikan “ya, harus menjaga agar di kepemimpinan nasional serentak, Pilpres itu bisa berjalan baik, tanpa ada riak-riak yang membahayakan negara.” Keriuhan di jagat maya, sebagian besar dikumandangkan oleh politisi dan pakar hukum, antara yang berada dalam satu barisan dengan Presiden Jokowi dengan yang berada di barisan opisisi. Lantas, apakah cawe-cawe yang dilakukan Presiden Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2024 ada norma yang dilanggar?

Dari segi norma hukum ketatanegaraan, landasan pelaksanaan pemilihan umum, termasuk pemilihan presiden, adalah Pasal 22 E Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari 6 ayat. Dari ayat (1) dan ayat (5) Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Hal mana berarti Presiden sama sekali tidak memiliki tugas dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemilu. Yang berwenang menyelenggarakan pemilihan umum adalah komisi pemilihan umum (“KPU”), dan penyelenggaraan tersebut dilakukan secara mandiri oleh KPU, tanpa memerlukan persetujuan ataupun arahan dari Presiden dan para pembantu Presiden, sekalipun KPU dilantik dan diambil sumpahnya oleh Presiden.

Menurut teori the rule of law yang dipopulerkan oleh A. V. Dicey, cawe-cawe Presiden dalam pemilu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, karena yang berwenang menyelenggarakan pemilihan umum adalah KPU, dan KPU bersifat mandiri. Presiden tidak boleh cawe-cawe dalam penyelenggaraan pemilu. Keikutsertaan Presiden dalam membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan) atau ikut menangani penyelenggaraan pemilu dapat dipastikan menimbulkan ekses negatif, dalam bentuk pengerahan aparatur sipil negara dan penggunaan aset negara untuk memenangkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.

Jika merujuk asas legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia, cawe-cawe Presiden dalam pemilu tidak dapat dihukum, mengingat belum ada peraturan yang melarang hal tersebut. Asas legalitas tersebut dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (“KUHP”) pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Cawe-cawe Presiden dalam konteks pemilu 2024 hanya dapat disebut melanggar, dan oleh karenanya hanya dapat dihukum apabila ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar. Selama tidak ada peraturan perudang-undangan yang melarang Presiden untuk cawe-cawe untuk ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan) atau untuk ikut menangani penyelenggaraan pemilu, maka tidak dapat dihukum.

Yang menarik adalah Presiden mengimbuhkan penjelasan atas cawe-cawe yang akan beliau lakukan, yaitu dalam rangka demi bangsa dan negara ke depan. Kelihatannya Presiden ingin mengatakan cawe-cawe tersebut tidak mengandung ill-intent, pikiran bersalah, atau mens rea, yang apabila dikaji dengan asas actus non facit reum nisi mens sit rea, yang intinya suatu perbuatan tidak bersalah kecuali dapat dibuktikan perbuatan tersebut disertai dengan niat jahat, maka Presiden tidak dapat dinyatakan bersalah, apabila cawe-cawe tersebut tidak disertai dengan niat jahat, melainkan dengan niat demi kebaikan bangsa dan negara ke depan.

Presiden dapat pula menggunakan asas salus populi suprema lex esto. Menurut asas ini, yang menjadi hukum tertinggi adalah kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Apabila asas ini diterapkan maka seluruh peraturan perundang-undangan, bahkan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sekalipun boleh dilanggar, sepanjang hal tersebut dilakukan demi kebaikan rakyat. Namun penerapan asas ini tentu saja tidak bisa dilakukan sembarangan, karena ibarat senjata, maka asas salus populi suprema lex esto adalah senjata nuklir. Terdapat banyak pendapat ahli mengenai dalam kondisi bagaimana asas ini dapat digunakan, namun pada umumnya para ahli tersebut sependapat bahwa asas ini hanya dapat digunakan apabila negara dalam keadaan darurat, apakah darurat perang, atau darurat kemanusiaan atau yang lain.

Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas, Penulis berpandangan bahwa cawe-cawe yang dilakukan Presiden Jokowi dalam pemilu 2024, tidaklah melanggar hukum sehingga tidak dapat dihukum, apalagi sampai pemakzulan presiden. Namun seyogyanya cawe-cawe Presiden tersebut harus didasarkan pada keadaan darurat yang nyata, tidak sekedar kekhawatiran bahwa pembangunan Presiden tidak akan dilanjutkan atau bahkan dinihilkan apabila yang memenangkan pilpres 2024 adalah kandidat dari koalisi oposisi. Kemampuan Presiden untuk menyampaikan hal keadaan darurat yang nyata itu juga penting untuk memenuhi kriteria etika dalam perilaku politik.

Dalam suasana kebatinan sebagian besar rakyat yang masih menganut budaya feudal, adalah tidak etis jika Presiden sebagai pemimpin eksekutif tertinggi negeri ini, melakukan cawe-cawe pemilu dan menunjukkan keberpihakan pada salah satu pasangan calon pilpres 2024, karena hampir dapat dipastikan akan ada oknum aparatur sipil negara yang memaknai hal tersebut sebagai komando, dan dikhawatirkan akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan pasangan tersebut. Jika demikian halnya, maka apakah Presiden Joko Widodo cawe-cawe, atau bukan cawe-cawe? Itu Pertanyaannya.

Penulis: Ferry, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Angkatan I

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *