Oleh: Dwi Ria Latifa
Dinamika politik nasional menuju Pemilu 2024 semakin ramai, seiring dengan aksi-reaksi yang terjadi di antara kekuatan yang akan memasuki gelanggang pertarungan sehingga menarik untuk dicermati. Salah satu hal yang menarik untuk dicermati saat ini, yakni Pencalonan Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden yang sudah sejak awal paling duluan dicalonkan oleh partai NasDem, partai Demokrat dan PKS sebagai Calon Presiden 2024. Tapi hingga saat ini masih terjadi tarik menarik, debat kusir para jubir masing-masing partai pendukung Anies di media. Goncangan demi goncangan tersebut berdampak elektabilitas Anies semakin merosot. Menurut Lembaga Survey Indikator Politik Indonesia bahwa elektabilitas mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan terus turun sejak Juli 2022 sebesar 29,4 % dan akhir Mei 2023 elektabilitas Anies menurun menjadi 18,9%. (https://nasional.kompas.com/read/2023/06/05/13002921/elektabilitas-anies-turun-terus-demokrat-duga-karena-tak-kunjung-deklarasi diakses tanggal 12 Juni 2023).
Isu yang muncul akibat menurunnya elektibilitas dimaksud adalah pencapresan Anies bisa saja mengalami kegagalan. Salah satu faktor yang bisa membuat Anies Gagal nyapres adalah bubarnya koalisi pengusungnya, yakni Koalisi Perubahan. Seperti diketahui, koalisi yang terdiri dari Partai NasDem, PKS, dan Partai Demokrat ini telah memenuhi presidential threshold untuk mengajukan calon presiden mereka. Namun, jika salah satu partai saja hengkang, ambang batas tersebut jadi tidak terpenuhi lagi, sehingga pencalonan Anies hampir dipastikan mengalami kegagalan.
Di Indonesia sistem pemilihan umum (Pemilu) menggunakan tiga sistem threshold atau ambang batas. Ketiganya yaitu electoral threshold, parliamentary threshold, dan presidential threshold. Pertama, electoral threshold, adalah batas minimal tingkat dukungan yang dibutuhkan partai untuk memperoleh perwakilan di lembaga legislatif atau parlemen. Saat ini, ambang batas ini dijadikan syarat bagi partai untuk menjadi peserta dalam pemilu berikutnya. Kedua, parliamentary threshold, ambang batas perolehan suara minimal partai peserta pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ambang batas parlemen adalah sebesar 4 persen. Serta ketiga, presidential threshold, adalah ambang batas minimal dukungan pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik.
Ketentuan ini pertama kali diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4) bahwa “Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.”
Regulasi penerapan presidential threshold di Indonesia didasarkan pada amandemen Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), terutama amandemen ketiga dan keempat. Dalam Pasal 6A ayat 2 menyatakan, pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Aturan tersebut menyatakan, hanya partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu yang dapat mengusulkan pasangan calon atau Paslon presiden dan wakil presiden. Pemilihan presiden dan wakil presiden menggunakan regulasi ambang batas pertama kali pada Pemilihan Presiden 2004. Kemudian berlanjut pada Pilpres 2009 dan Pilpres 2014, sebagaimana mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2003. Namun, regulasi presidential threshold pada Pilpres 2019 sedikit berbeda.
Pemerintah dan DPR RI bahkan membuat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk mengatur regulasi baru. Dalam UU Pemilu tersebut, Pasal 222, menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, yakni Pemilihan Legislatif atau Pileg 2014. Pasalnya, pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2019 dilaksanakan serentak pada April. Pada Pilpres 2024, aturan Pilpres 2019 kembali digunakan mengingat kontestasi tahun depan juga diselenggarakan serentak. Untuk mengusung calon presiden, partai atau gabungan partai politik memperoleh minimal 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR Pemilihan Legislatif periode sebelumnya dan belum membolehkan munculnya kandidat independen.
Menanggapi hal tersebut diatas, menurut penulis dengan persyaratan tersebut, hanya sosok yang mendapat dukungan dari partai-partai politik besar atau tokoh-tokoh yang bermodal besar secara materi dan mampu melobby partai politik yang mau mengusungnyalah yang bisa mencalonkan diri. Sementara sosok-sosok alternatif yang berkualitas sulit untuk naik, walaupun mereka disukai publik. Jadi ruang itu menjadi sangat terbatas. Padahal kalau kita lihat, mungkin ada orang-orang yang sebetulnya punya potensi, tapi karena dukungan partai politiknya minim sehingga mereka malah justru tidak bisa masuk ke dalam ruang kompetisi ini.
Menurut penilaian penulis, Anies akhirnya bisa jadi gagal maju menjadi Calon Presiden karena terkunci di tengah kemelut 3 (tiga) partai politik pengusungnya. Sementara syarat ambang batas untuk pencalonan juga sangat sulit lagi dipenuhi oleh Anies apabila ketiga partai pengusungnya pecah kongsi. Kecendrungan jumlah partai pengusung Anies tidak akan berubah selain Partai NasDem, Partai Demokrat dan PKS. Lebih menarik lagi, situasi politik terkini menunjukkan Partai Demokrat sudah mulai menjalin komunikasi dengan PDI Perjuangan (https://nasional.tempo.co/read/1736433/sekjen-pdip-ungkap-isi-pertemuan-dengan-demokrat-salah-satunya-bahas-ahy diakses tanggal 12 Juni 2023). Hal yang selama ini sangat mustahil terjadi karena sejarah kelam Hubungan yang buruk antara Megawati Soekarnoputri dan Soesilo Bambang Yudhoyono. Akhirnya dalam konstestasi pemilihan presiden 2024 ini, menurut pengamatan Penulis, Anies Baswedan ‘Maju Tak Jalan Mundurpun Tak Lucu’.
Penulis: Dwi Ria Latifa, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila Angkatan I