Oleh : Asep Bambang Hermanto

Penegakan Hukum di Indonesia akhir-akhir ini mendapat sorotan luas dalam dan luar negeri, menyusul kasus beruntun diantaranya OTT KPK terhadap 2 (dua) orang Hakim Agung terkait kasus Koperasi Simpan Pinjam Intidana yang berkedudukan di Kota Semarang; Kasus Pembunuhan Brigadir Josua (ada upaya penghalangan keadilan atau Obstruction of justice), Pelibatan kasus Red Notice Joko Tjandra yang melibatkan Polisi, Jaksa dan Advokat, korupsi politik (jual beli jabatan, pesanan anggaran), korupsi kepala daerah (penyalah gunaan kewenangan) dan masih banyak kasus kasus korupsi lainnya. INi menggambarkan penegakan hukum berkeadilan di negeri ini menjadi barang langka. Kondisi ini memperkokoh pandangan skeptis masyarakat memandang “hukum itu hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas”.

Padahal secara normatif konstitusional bahwa Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945)” bahkan telah dilakukan Amandemen UUD 1945 (1999, 2000, 2001, 2002), dengan tujuan untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia yang menjadi salah satu penyebab sistem ketatanegaraan yang koruptif. Bahkan sebelumnya, telah diterbitkan KETETAPAN MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelegaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. TAP ini merupakan amanat reformasi, yaitu untuk menghindari praktik koruptif dan pemberantasan KKN secara tegas terhadap siapun juga, bahkan termasuk mantan Presiden Suharto. Tindak lanjut keluarlah UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN.

Seperangkat peraturan terebut di atas, sebenarnya menghendaki hadirnya Aparatir Penyelengara Negera (ASN) berintegritas, yaitu konsistensi antara ucapan dan kenyakinan yang tercermin dalam perbuatan sehari hari. Dengan kata lain, konsistensi antara ucapan dan kenyakinan tercemin dalam perbuatannya. Namun yang terjadi sebaliknya, perilaku dan kelakuan aparatur hukum sebagai salah satu unsur ASN justru koruptif. Artinya, aparat dimaksud tidak menjalankan hukum dan sumpah jabatan sebagaimana mestinya. Peradilan yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan dan Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan, malah yang terjadi adalah sebaliknya, dimana asas peradilan cepat, sederhana, dan murah hanya jargon semata.

Jika dibandingkan dengan beberapa negara maju seperti Jepang, masyaratkatnya selalu mengedepankan 3 (tiga) prinsip hidup yaitu 1) menjujung tinggi jujuran, 2) mengedepankan moral; dan 3) budi pekerti. Mayarakat di Jerman menerapkan 4 (empat) hal utama; 1) jujur, disiplin, etos kerja, dan tanggungjawab. Untuk sampai posisi sejajar dengan negeri maju tersebut diperlukan Peningkatan pengawasan Internal dan Ekseternal pada institusi-institusi penegak hukum, misalnya MA (internal dan eksternal KY); Kejaksaan oleh Komisi Kejaksaan; Advokat oleh Dewan Etik/Kehormatan.

Selain itu, pendidikan hukum dan pendidikan anti korupsi dimulai sejak dini (TK, SMP, SMA, Perguruan Tinggi), sebab pendidikan hukum dan pendidikan anti krupsi merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang di usia dini, agar keadilan dan kemkmuran negara dapat terwujud sesuai tujuan negara dengan pendidikan yang tersistem akan mudah terukur. Penegakan hukum secara konsisten tanpa pandang bulu, integritas penegak hukum terus ditingkatkan; Pengawasan internal dan eksternal dioptimalkan dan beri sanksi yang tegas bagi penegakan hukum yang melakukan pelanggaran hukum, beri penghagaan bagi mereka yang menjalankan dengan baik dan benar. Jika tidak, maka Penegakan Hukum Berkeadilan Masih Jauh Panggang Dari Api.

Penulis: Dr. Asep Bambang Hermanto, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *