Oleh : Cipta Indralestari Rachman

Indonesia saat ini memiliki 37 provinsi, 3 (tiga) diantaranya ada di Papua. Hal yang menarik adalah ketiga provinsi dimaksud merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Papua dan Papua Barat. Provinsi baru dimaksud adalah Propinsi Papua Selatan yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022, Provinsi Papua Tengah melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 dan Provinsi Papua Pengunungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022. Dalam masing-masing undang-undang pembentukan tersebut, ketiganya ditegaskan sebagai daerah otonomi khusus yang berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang diundangkan pada tanggal 19 Juli 2021.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 dapat dianggap sebagai strategi Pemerintah dan DPR untuk mempercepat terbentuknya daerah otonom baru serta memberikan predikat sebagai daerah otonom bersifat khusus. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 dirumuskan bahwa Provinsi Papua yang dimaksud pada judul undang-undang tersebut adalah provinsi-provinsi yang berada di wilayah Papua yang diberikan otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, rumusan definisi tersebut memiliki makna apakah seluruh provinsi yang dibentuk diprovinsi Papua secara otomatis diberikan status khusus?

Secara penafsiran gramatikal, frasa “di wilayah papua yang diberi otonomi khusus” dapat diartikan bahwa otonomi khusus adalah pemberian dan harus ditetapkan dalam undang-undang sebagaimana dalam ketentuan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Deklarasi otonomi khusus Papua dalam hal pembentukan Daerah Otonomi Baru bukan hanya sebatas itu. Secara normatif, prosedur pembentukan DOB di Papua diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021. Prosedur pemekaran daerah di Provinsi Papua diatur secara khusus dan berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kekhususannya berada pada ketentuan Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, bahwa pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota yang diusulkan oleh Pemerintah dan DPR tanpa melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemekaran daerah tidak dapat dilakukan secara serta merta. Pembentukan daerah harus dilakukan melalui tahap persiapan selama 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun. Pasal 39 ayat (2) menegaskan bahwa daerah persiapan dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun untuk calon daerah otonom yang bukan berdasarkan kepentingan strategis nasional. Dalam Pasal 49 menegaskan bahwa untuk daerah yang berada di perbatasan, pulau terluar, dan daerah tertentu dalam rangka untuk menjaga kepentingan dan kedaulatan NKRI, jangka waktu daerah persiapan paling lama 5 (lima) tahun.

Sayangnya, konstruksi hukum penataan daerah, khususnya mengenai mekanisme daerah persiapan sebagai upaya untuk mempersiapkan daerah agar mampu menjalankan otonomi yang telah diberikan, justru diabaikan melalui ketentuan Pasal 76 ayat (3) UU 2 tahun 2021 sebagai strategi percepatan pemekaran daerah di Papua. Tentunya, pembentukan 3 (tiga) provinsi baru di Papua tersebut menimbulkan kekhawatiran apakah dapat menjamin tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat Papua, ditengah data dari Badan Pusat Statistik hingga bulan Maret 2022 yang menyatakan bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi se-Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat harus konsisten melakukan pembinaan dan fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan di ketiga provinsi baru tersebut.

Penulis: Cipta Indralestari Rachman, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, kini sedang menempuh Program Doktor Hukum pada UII Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *