Oleh: Novi Yanti
Indonesia memiliki keberagaman suku, budaya, bahasa dan tradisi, diantaranya Suku Dayak Kenyah yang saat ini mendiami pedalaman di Pulau Kalimantan. Sebagai masyarakat adat, Suku Dayak Kenyah sangat menjunjung tinggi adat istiadat, tradisi adat budayanya sendiri namun juga budaya lain yang ada di Indonesia. Kebudayaan adat istiadat Suku Dayak Kenyah telah melekat pada masyarakat sejak zaman nenek moyang dan secara turun temurun diwariskan kepada anak-anak mereka. Suku Dayak Kenyah, masyarakat adat sangat percaya kepada berhala, benda-benda mati ataupun pohon- pohon yang mereka yakini sebagai Tuhan atau dewa.
Semula dalam kehidupan bermasyarakat Suku Dayak Kenyah sangat mempercayai terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sebuah keyakinan yang sulit untuk dihilangkan. Seperti tradisi telinga panjang, tato tradisional, dan ngayau (berburu kepala). Tradisi ngayau adalah kegiatan berburu kepala musuh, tradisi ini ditanamkan secara turun temurun dimana pemuda Dayak Kenyah harus melakukan pembuktian dengan memburu kepala musuh. Konsekuensi logisnya, kondisi demikian ini terus berlanjut dimana keturunannya akan memburu keluarga dari pembunuh ayahnya dan membawa kepala tersebut ke rumah.
Baru pada tahun 1870-an para kepala suku menyepakati hasil musyawarah Tumbang Anoi yang berisi larangan pelaksanaan tradisi ngayau karena hal ini dapat menyebabkan perselisihan di antara suku Dayak. Sementara pada tahun 1970-an tradisi telinga panjang perlahan punah di kalangan generasi milenial. Meski bagi masyarakat adat Suku Dayak Kenyah makna telinga panjang dimaksud merupakan simbol kecantikan bagi wanita, tradisi ini juga digunakan untuk menunjukan status kebangsawanan dan melatih kesabaran serta untuk membedakan antara manusia dengan hewan, setra telinga panjang juga sebagai status atau tanda bagi Suku Dayak. Namun dengan perkembangan zaman membuat generasi milenial perlahan meninggalkan tradisi tersebut dengan alasan zaman sekarang sudah modern. Begitu juga dengan tato tradisional yang dikenal sebagai seni ukir, pada saat perang berlangsung tato tersebut digunakan sebagai tanda untuk mengenali kawan dan lawan juga sebagai tanda kedewasaan.
Kebudayaan juga bagaian dari hukum Adat yang berlaku dalam kehidupan Masyarakat Adat. Hukum Adat dimaksud secara resmi telah diakui oleh Negara, merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang berbunyi; “Negara Mengakui dan Menghormati Kesatu- Kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisional sepajang masih hidup dan sesuai dengan perkembagan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 4 dengan jelas menjelaskan Hukum adat diakui keberadaannya, namun peranan dari hukum ini juga harus dibatasi. Bagaimanapun juga, hukum ini diterapkan di kalangan masyarakat karena dipercaya dapat digunakan untuk mengelola dan mempertahankan ketertiban di lingkungan masyarakat Penerapan hukum adat pada masyarakat ini terbilang sangat kuat. Segala kepercayaan yang telah ada sejak dulu tetap dipegang teguh dan diwariskan pada tiap keturunannya hingga kepercayaan tersebut menjadi suatu hukum.
Walaupun demikian, ada faktor eksternal yang menyebabkan adat istiadat, tradisi dan kebudayaan Suku Dayak Kenyah sulit dipertahankan pada generasi milenial. Pengaruh kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi membuat generasi milenial seakan meninggalkan budayanya sendiri. Oleh sebab itu, generasi milenial seharusnya menjadi tonggak penting dalam mempertahankan adat istiadat, tradisi maupun budaya bangsa. Diperlukan strategi yang memanfaatkan peran media dan informasi digital dalam mencengah efek negatif dari luar karena pegaruh modernisasi. Generasi milenial juga harus mampu melestarikan budaya lokal dengan cara mempelajari dan memahami budaya itu sendiri, mengikuti kegiatan kebudayaan, menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) juga salah satu cara untuk mempertahan budaya.
Menuurut pandangan penulis, pertama, dengan tetap menjaga dan melestarikan tradisi oleh generasi milenial berarti ikut merawat NKRI. Kedua, dengan saling mengingatkan satu sama lain, maka rasa solidaritas akan terus terpupuk sehingga kesatuan masyarakat adat sebagai ciri NKRI dapat terwujud. Selain itu, ketiga, penerapan hukum tradisional yang terus berlangsung di tengah masyarakat juga akan memperkuat kebudayaan asli dari suatu daerah.
Penulis: Novi Yanti sedang menempuh Pendidikan Magister Kenotariatan FHUP, Jakarta.