Oleh: Annisa Rahma

Pada momentum Hari Santri kali ini, izinkan saya menuliskan lebih jauh tentang ayam betina yang berkokok dari Tanah Minangkabau, sebuah kokok yang lantang, ditengah kokok “ayam jantan” yang riuh. Perempuan hebat bernama “Rahmah” yang artinya kasih sayang.

Rahmah El Yunusiyyah, anak dari seorang Ulama terkemuka Minangkabau, Muhammad Yunus al-Khalidiyah, adalah pahlawan perempuan dari Minangkabau, tanah beradat yang didalamnya terjadi harmonisasi sempurna antara kearifan lokal dan nilai religiusitas –adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah− yang mana pada saat itu, adat dipeluk laki-laki, ditafsirkan oleh laki-laki, dan dikuasainya pula.

Di Minangkabau, tokoh perempuan pada saat itu mampu membuat Belanda ngilu-ngilu asam. Roehana Kuddus, Ratna Djuwita, Rahmah El Yunusiyyah, Rasuna Said, Sa’addah Alim, Djanewar Djamil, Sjamsidar Jahja, Ratna Sari, semuanya adalah wartawati atau politikus, kecuali Rahmah. Rahmah sangat fokus bergelut dalam memajukan pendidikan untuk kaum perempuan, bukan berarti dia menutup diri dengan politik, hanya saja bagi Rahmah sebelum perempuan berbicara tentang lain hal haruslah mereka di isi dengan ilmu pengetahuan yang benar sebagaimana mestinya.

Rahmah kecil tumbuh dewasa dengan banyak pertanyaan di dalam otak cerdasnya, entah siapa yang memulai menancapkan kebodohan dalam kepala orang-orang yang menjadikan perempuan sebatas objek pelengkap sampai ajal menjemput, bahwa pria harus berbini lebih dari satu. Mereka berbondong-bondong memungut Al-Quran, lalu ayat itu dipegang erat-erat, hanya untuk kepentingan poligami, tanpa ada niat membahas ayat tersebut dengan akal sehat. Dari gejolak kegelisahan tersebut, membawa Rahmah berdiri lebih tegap sambil melilitkan kerudung putih yang menjadi ciri khasnya, seraya bersiap melawan “kejahilan” yang meradang di Bumi Minangkabau.

Perjuangan Rahmah dalam membangun Sekolah Islam untuk perempuan tentu tidak semulus yang dibayangkan. Pada masa itu, sedikit saja perempuan Minang yang mengecap pendidikan, sebagian besar habis umur dirumah, di sawah, di ladang, di pasar, dan lebih banyak membina rumah tangga. Perempuan kebanyakan adalah perempuan pasrah, memasrahkan diri pada nasib dan sesuatu yang dianggap takdir, meski itu bukan takdir. Sekolah dengan bangunan sekedarnya tersebut pada hari pertama murid mulai berdatangan, tiap hari terus begitu, ada yang pergi dan tak kembali, tentu ada pula yang baru. Apa yang Rahmah lakukan tentunya menjadi perbincangan di masyarakat. Ia disebut “yang ketidak-tidak saja”. Rahmah ditentang baik secara diam-diam maupun frontal. Tidak jarang juga Rahmah bersitegang dengan pemuka adat yang memaksa anak perempuan untuk kawin. Namun, mana mau Rahmah kalah.

Keberanian Rahmah dalam memberikan penerangan agama untuk memperjuangkan kaumnya menjadi tiang negara −al mar’atu imadul bilad− selama bertahun-tahun menjadikannya sebagai Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah, menjadi Bunda Rahmah, menjadi Etek Rahmah, menjadi Encik Rahmah Ayam Betina yang berkokok, menjadikannya Syekhah, dan menjadikan dirinya sebagai perempuan yang melampaui zaman. Perpaduan antara kecantikan, keanggunan dan kharisma seorang Rahmah El Yunusiyyah menciptakan sebuah relasi harmoni antara nilai keagamaan, adat, dan membentuk kristalisasi sistem hidup baru, melenyapkan hal-hal yang retak, menghapuskan pertentangan antara panggilan masyarakat atau panggilan alam, menghasilkan sebuah elemen baru pekerjaan masyarakat dan cinta kasih keibuan dalam satu sintesis yang berbahagia tanpa melupakan akar budaya.

Sumber: Khairul Jasmi, Rahmah El Yunusiyyah, Perempuan Yang Mendahului Zaman, Jakarta: Republika Penerbit, 2020

Penulis adalah Annisa Rahma, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *