Oleh: Fajar Romy Gumilar
Tragedi maut di Stadion Kanjuruhan, Malang, usai laga antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada Sabtu (1/10/2022) yang menelan 125 korban jiwa harus diusut tuntas. Menurut keterangan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD (03/10/2022), umumnya korban meninggal dunia karena berdesak-desakan, terhimpit, terinjak-injak dan sesak nafas. Lalu siapa yang salah? Panitia pelaksana pertandingan yang tidak menghiraukan arahan-arahan dari pihak Kepolisian? Aparat keamanan yang sangat represif dengan memukul dan menembakan gas air mata kepada suporter? Ataukah supporter yang bertindak anarkis? Yang pasti kejadian ini tidak boleh menguap begitu saja, demi keadilan bagi keluarga para korban dan untuk menjadi pelajaran semua pihak, agar tidak terulang lagi kejadian serupa di kemudian hari.
Secara teoretik, seharusnya atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat harus dipertanggungjawabkan secara pidana. Pihak-pihak dimaksud adalah panitia pelaksana pertandingan, petugas keamanan dan penonton/ supporter itu sendiri. Panitia Pelaksana Pertandingan. Dugaan kelalaian dalam tragedi maut di Stadion Kanjuruhan, Malang dilakukan oleh Panitia Pelaksana Pertandingan. Sebelum dimulainya pertandingan, Kepolisian telah memberikan rekomendasi untuk pertandingan dilakukan sore hari demi keamanan, namun rekomendasi itu tidak dilakukan. Selain itu, kapasitas stadion yang seharusnya hanya dapat menampung 38.000 penontot namun panitia mencetak tiket untuk pertandingan hari itu sebanyak 42.000 dan hal tersebut menyebabkan stadion overcapacity.
Panitia pelaksana pertandingan sendiri terkesan tidak sigap dan siap dalam mengatasi situasi tidak terduga apabila terjadi kerusuhan, misal tidak adanya jalur evakuasi yang memadai sehingga hal ini diduga menjadi penyebab meninggalnya para korban. Saat kejadian penonton yang panik akibat tindakan Kepolisian yang menembakkan gas air mata berebut mencari jalan keluar. Jumlah penonton yang terlalu padat dan minimnya jalur evakuasi di pintu keluar tribun, menyebabkan penonton di depan menuju pintu keluar terdorong dan berjatuhan akibat berebut keluar. Sedangkan penonton bagian belakang sesak nafas akibat gas air mata yang asapnya memenuhi tribun penonton.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diduga panitia pelaksana pertandingan telah lalai untuk memenuhi unsur keselamatan dan keamanan bagi penonton. Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan pada Pasal 52 menyatakan “Penyelenggara kejuaraan Olahraga wajib memenuhi persyaratan teknis kecabangan, kesehatan, keselamatan, ketentuan daerah setempat, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik”. Konsekuenasi hukum dengan tidak dipenuhinya syarat teknis sebagaimana Pasal 52, pada Pasal 103 ayat (1) dapat dipidana selama 2 tahun dan/atau denda Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal juga diatur secara tegas dalam Pasal 359 yang bunyinya “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”. Sehingga pasal yang disebutkan di atas, dapat menjerat panitia pelaksana pertandingan dalam tragedi maut di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Petugas Keamanan
Kejadian tragedi Kanjuruhan tidak lepas dari akibat dugaan tindakan represif yang berlebihan yang dilakukan oleh Petugas Keamanan, dalam hal ini pihak Kepolisian dan TNI.
Dilihat dari beberapa video yang beredar di media sosial, tindakan TNI/POLRI yang melakukan kekerasan terhadap supporter dengan pemukulan dan pengeroyokan yang menyebabkan luka sungguh sangat berlebihan. Belum lagi, di dalam stadion petugas keamanan menembakkan gas air mata yang menyebabkan orang yang terkena akan mengalami sesak nafas, batuk, rasa terbakar di mata, mulut dan hidung. Faktor adanya gas air mata inilah yang memicu para penonton panik untuk mencari jalan keluar dan pingsan, kemudian terinjak-injak, terhimpit dan akhirnya mengakibatkan meninggal dunia.
Gas air mata seharusnya tidak diperkenankan dalam pengamanan stadion sepak bola, dalam aturan Federasi Sepak Bola Dunia, FIFA Stadium Safety and Security Regulations Pasal 19b menyebutkan “No firearms or’crowd control gas’ shall be carried or used” (senjata api dan ‘gas pengendali massa’ tidak boleh dibawa dan dipergunakan). Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, dalam Pasal 10 c menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct), tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan.
Dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 ini, melarang semua bentuk kekerasan saat bertugas dengan alasan apapun yang tidak berdasar hukum. Apabila terbukti terjadi pelanggaran kesewenang-wenangan dan melakukan tindakan kekerasan tidak berdasar hukum dalam melakukan pengamanan, maka akan mempertanggungjawabkan sesuai dengan kode etik kepolisian, yang tertuang dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dugaan kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan anggota kepolisian juga dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan yang hukumannya paling lama dua tahun delapan bulan, apabila mengakibatkan luka berat hukumannya paling lama lima tahun dan apabila menyebabkan kematian maka hukumannya paling lama tujuh tahun. Namun Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat, dapat juga dijerat kepada para pelaku yang ancaman hukumannya paling lama delapan tahun dan jika menyebabkan kematian hukumannya bertambah paling lama sepuluh tahun. Selain itu, dugaan kelalaian sebagaimana Pasal 359 KUHP juga dapat menjerat anggota kepolisian atas kesalahan dan kealpaannya menyebabkan para penonton meninggal dunia.
Oleh karena itu, pengusutan tuntas dan investigasi juga harus mengarah kepada anggota petugas keamanan karena adanya dugaan tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang oleh petugas keamanan.
Supporter Tragedi dan kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, berawal dari kekecewaan para suporter Arema FC karena timnya dikalahkan oleh Persebaya Surabaya dengan Skor 3-2. Hal tersebut yang memicu beberapa orang supporter memaksa masuk ke lapangan dan menyusul para supporter yang lain mengikutinya. Kemudian aksi kekecewaan tersebut merembet ke pengrusakan beberapa fasilitas dan pembakaraan kendaraan polisi yang berada di dalam stadion maupun di luar stadion. Sehingga terjadilah bentrok antara petugas keamanan dengan para supporter, yang mengakibatkan tindakan represif dari petugas dengan memukul mundur dan melempar gas air mata ke arah supporter.
Adanya tindakan anarki dan pengrusakan barang yang dilakukan oleh para supporter, maka sebenarnya sangat jelas bahwa suporter pun dapat ditindak dan dijerat yang unsur-unsurnya perbuatannya telah masuk dalam Pasal 170 ayat (1) “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
Atas penjelasan tersebut di atas, maka pengusutan secara tuntas atas Tragedi Kanjuruhan adalah suatu keharusan agar dapat terciptanya penegakan hukum yang berkeadilan bagi semua pihak. Insiden ini harus jadi catatan penting bersama bagi pemangku kebijakan untuk menciptakan ekosistem liga dan kompetisi bola dengan urusan keamanan dan keselamatan harus menjadi prioritas.
Penulis: Fajar Romy Gumilar, S.H., sedang memempuh pendidikan Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada Kampus Jakarta.