Oleh: Friska Manalu

Kasus pembunuhan Brigadir J alias Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat telah berjalan dalam kurun waktu 3 bulan sejak Konferensi Pers pertama kali yang disampaikan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Pol Budhi Herdi Susianto dengan Headline News Peristiwa Penembakan di Duren Tiga, Tepatnya di salah satu rumah Petinggi POLRI. Pada konferensi pers tersebut dijelaskan kronologis penembakan yang terjadi di rumah Mantan Kadiv Propam POLRI, Irjen Ferdy Sambo. Pihak Polres Metro Jakarta Selatan mengetahui kejadian tersebut berdasarkan Laporan yang dibuat oleh Irjen FS, untuk kemudian Polres Metro Jakarta Selatan melakukan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara).

Peristiwa yang dijelaskan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan ternyata tak sesederhana dan tak sesuai fakta yang sebenarnya. Banyak kejanggalan yang terjadi, mulai dari rekaman CCTV yang rusak, keluarga Brigadir J tidak diperbolehkan melihat jenazah, HP Brigadir J yang hilang dan kejanggalan-kejanggalan lainnya yang mengakibatkan kasus ini menjadi pusat perhatian masyarakat dan dalam pengawasan Menkopolhukam, Mahfud MD. Puncaknya, atas desakan masyarakat yang ikut mengawal kasus ini meminta agar Pemerintah concern dan meminta POLRI agar membuka kasus ini secara terang benderang tanpa ada yang ditutup-tutupi. Atas desakan dari masyarakat, kemudian pada Bulan Agustus, Kapolri bersama dengan Team Khusus yang dibentuk oleh Kapolri mengumumkan penetapan 5 orang tersangka dengan dijerat Pasal Pembunuhan Berencana (340 KUHP) subsider pasal Pembunuhan (338 KUHP) dengan ancaman hukuman pidana diatas 5 tahun.

Ternyata, proses penetapan tersangka tersebut tidak sesuai dengan harapan Masyarakat. Dari 4 orang tersangka yang telah ditahan, masih ada 1 orang yang tidak dilakukan penahanan. Siapakah Dia? Yah,  benar orang tersebut adalah Ibu PC, isteri Irjen Ferdy Sambo yang juga merupakan tersangka. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang menjadi alasan Penyidik Polri tidak melakukan penahanan terhadap Ibu PC? Padahal pasal yang dikenakan terhadap Ibu PC sama dengan keempat tersangka lainnya? Apakah ada alasan khusus Penyidik Polri yang menjadi pertimbangan untuk tidak dilakukan penahanan terhadap Ibu PC? Mari kita Analisa Bersama dan kita simpulkan apakah alasan tersebut masuk akal? Atau alasan yang subjektif? Atau ada alasan lain?

Apabila melihat isi Pasal yang dikenakan terhadap 5 orang tersangka kasus Brigadir J, disebutkan bahwa “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun” (Pasal 340 KUHP) Subsider Pasal 338 KUHP “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Isi kedua pasal tersebut secara tegas menyebutkan ancama pidana yang dikenakan terhadap tersangka adalah pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan lima belas tahun.

Apabila merujuk kepada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang merupakan hukum formil atau hukum yang menegakkan hukum materil atau KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), telah diatur mengenai Penahanan yaitu pada Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menyebutkan “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a. Dalam Pasal 21 ayat (4) huruf a KUHAP tersebut secara tegas menyebutkan bahwa Penahanan dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih. Maka apabila Penyidik POLRI tidak melakukan penahanan terhadap Ibu PC yang menjadi tersangka kasus Pembunuhan Berencana Brigadir J, tentu saja tindakan tersebut tidak sesuai dengan aturan KUHAP.

Dalam pemberitaan di sejumlah media cetak maupun elektronik, Penyidik Polri berdalih bahwa Ibu PC melalui kuasa hukum mengajukan penangguhan penahanan, dan yang menjadi salah satu alasannya adalah Ibu PC yang masih memiliki balita, ditambah dengan keterangan Penyidik Polri yang menyampaikan bahwa Ibu PC kooperatif selama pemeriksaan. Tentu saja Tindakan yang dilakukan oleh Kuasa Hukum Ibu PC tidaklah salah, dan diperbolehkan oleh KUHAP.

Mengenai penanangguhan penahanan ini diatur didalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan “atas permintaan tersangka atau terdakwa penyidik dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan”. Kemudian mengenai syarat penangguhan penahanan ini dapat dilihat dalam isi Penjelasan Pasasl 31 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “yang dimaksud dengan syarat yang ditentukan ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk masa status tahanan”.

Berdasarkan isi Pasal 31 ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya, maka penangguhan penahanan yang diajukan oleh Ibu PC melalui kuasa hukumnya sah-sah saja dengan syarat Ibu PC wajib lapor, tidak keluar rumah dan tidak keluar kota. Memang penangguhan penahanan yang diberikan oleh Penyidik Polri terhadap Ibu PC tidaklah menyalahi aturan tertulis yang mengatur tindakan tersebut. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa kasus Brigadir J bukanlah kasus biasa yang penanganannya hanya sesuai dengan aturan normatif yang berlaku.

Ada nilai keadilan yang dituntut oleh masyarakat untuk penanganan kasus Brigadir J. Seolah-olah tidak hanya keluarga Brigadir J yang menjadi korban, tapi seluruh masyarakat Indonesia merasakan pilu kesedihan dan ketidakadilan yang sama dengan yang dirasakan oleh keluarga Brigadir J. Tentu saja sikap masyarakat ini tidak lepas dari tindakan Polri yang tidak terbuka dalam penanganan kasus ini. Apabila ditarik ke awal cerita munculnya kasus ini, yang menjadi headline news nya bukanlah kasus pembunuhan, namun kasus tembak menembak di instansi POLRI. Bermuara dari situlah kemudian masyarakat hilang kepercayaaan terhadap profesionalitas dan integritas Polri khususnya dalam hal penanganan kasus Brigadir J.

Seiring dengan ditetapkannya Ibu PC sebagai tersangka dan tidak dilakukan penahanan, kemudian muncul pro kontra dari masyarakat yang kembali mempertanyakan profesionalitas dan integritas pejabat POLRI. Kontra masyarakat ini bukanlah tanpa dasar, namun berdasarkan fakta dari kasus yang pernah ada, misalnya seorang ibu yang menjadi tersangka dan masih memiliki balita harus dan terpaksa membawa bayinya kedalam dinginnya sel tahanan. Seorang Ibu yang tidak memiliki jabatan, uang dan kekuasaan diperlakukan  terpaksa membawa bayinya kedalam dinginnya sel tahanan. Seorang Ibu yang tidak memiliki jabatan, uang dan kekuasaan diperlakukan berbeda dengan Ibu PC yang merupakan Isteri Mantan Kadiv Propam Polri.

Tentu saja ini semakin menumbuhkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum, sebagaimana yang dipahami dan menjadi trendmarks di tengah masyarakat bahwa “Hukum Tajam ke bawah, namun Tumpul ke atas”. Hukum hanya menjadi tajam ketika berhadapan dengan masyarakat bawah yang tidak memiliki kekuasaan dan ekonomi lemah. Praktik semacam ini, terkesan masih ada yang diistimewakan, sehingga masih menyisakan pertanyaan dimanakah asas Equality Before The Law?  Apakah aparat penegak hukum masih ingat asas hukum tersebut? atau itu hanyalah teori yang dipelajari di akademik namun tidak diterapkan dalam pelaksanaan Due Process of Law?  Atau hanya hanya berlaku untuk kalangan tertentu saja? Mari kita tanyakan kepada POLRI.

Penulis: Friska Manalu, bekerja sebagai Litigation Specialist di PT Buana Finance, sedang menempuh Program Magister Ilmu Hukum UGM Jakarta, kosentrasi Hukum Bisnis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *