Oleh: Nusrofan Adi Prasetyo
Belakangan ini masyarakat pencari keadilan digemparkan dengan berita tentang Operasi Tangkap Tangan (OTT) Hakim Agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana KPK telah menetapkan 10 (sepuluh) orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung RI. Informasi tersebut mengagetkan masyarakat pencari keadilan di Indonesia karena peradilan terutama Mahkamah Agung yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan, ternyata tidak sekuat yang kita inginkan. Penangkapan Hakim Agung dan rekanan lainnya merupakan bukti bahwa rapuhnya, kredibilitas, dan moralitas Hakim Agung dan institusi Mahkamah Agung, bahkan di pengadilan tingkat atas, praktik hukum penjualan terus merajalela, melemahkan sistem peradilan tersebut.
Jabatan Hakim Agung dan kewenangan institusi Mahkamah Agung diatur berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, dimana kedudukannya sebagai lembaga tinggi negara yang memegang kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Berdasarkan data KPK tentang jumlah aparat penegak hukum tersandung kasus korupsi (2004-2022) ada 34 koruptor yang merupakan aparat penegak hukum yang terjerat kasus korupsi. Rinciannya terdiri dari 21 koruptor dengan jabatan hakim, 10 koruptor dengan jabatan jaksa, serta 3 orang dari kepolisian. Hal tersebut menunjukkan bahwa angka korupsi di lingkungan peradilan terutama jabatan hakim masih sangat tinggi dan terus tumbuh. Lantas, bagaimana mekanisme dan ketentuan atas sistem pengendalian atau pengawasan hakim saat ini?
Mahkamah Agung memiliki lima fungsi sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman, yaitu Fungsi Peradilan, Fungsi Pengawasan, Fungsi Mengatur, Fungsi Nasihat, dan Fungsi Administrasi. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung meliputi pengawasan terhadap lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, serta pengawasan terhadap tingkah laku para hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam rangka menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman.
Kemudian berdasarkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ketiga dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial serta perubahannya, menyatakan bahwa Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Dengan hadirnya Komisi Yudisial memiliki tujuan salah satunya ‘intervensi’ untuk menjaga integritas peradilan, meningkatkan akuntabilitas dan independensi peradilan di Indonesia yang lahir dan tergabung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang diharapkan dapat menjadi katalisator dan motor penggerak penegakan kualitas etika dan perilaku hakim sesuai amanat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, terutama menjalankan fungsi pengawasan Mahkamah Agung.
Kehadiran Komisi Yudisial tersebut membuat kisruh fungsi pengawasan peradilan yang saat itu hanya dimiliki oleh MA. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi yang berpendapat bahwa sistem checks and balances (fungsi pengawasan) tersebut terkait erat dengan prinsip pembagian kekuasaan negara (distribution of powers), namun tidak serta merta dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antar semua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara MA dan Komisi Yudisial dalam hal pencalonan hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim. Meskipun benar demikian bahwa Komisi Yudisial dapat diberi wewenang pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim (Rahmatullah, 2013).
Hal ini membuktikan bahwa hadirnya KY dengan fungsi pengawasannya memiliki cakupan tugas, pokok dan fungsi yang sangat terbatas dan melihat masih adanya indikasi praktik negatif yang dilakukan oleh hakim dan minimnya hakim yang dijatuhi sanksi, dapat disimpulkan bahwa fungsi pengawasan belum cukup efektif. Penekanan fungsi pengawasan internal oleh MA menjadi krusial karena berhubungan dengan pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (dengan cakupan sangat terbatas).
Dengan demikian, MA dan Komisi Yudisial selaku lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi peradilan harus bertindak tegas melakukan pengawasan baik secara internal dan eksternal dalam upaya pengawasan bagi hakim MA yang didukung pula dengan pentingnya peran masyarakat dalam mengawasi hakim mulai dari tingkat PN, PA, PT hingga MA.
Penulis: Nusrofan Adi Prasetyo, sedang menempuh program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta, Konsentrasi Hukum Bisnis.