Oleh: Rindhang Pundhilaras, S.H., CLA.
Tahun 2021 muncul kasus suap jual beli jabatan Kepala Desa Probolinggo. KPK menetapkan sebagai penerima, yakni Bupati Probolinggo periode 2013-2018 dan 2019-2024 Puput Tantriana Sari (PTS) dan suaminya anggota DPR RI periode 2014-2019 dan 2019-2024 dan pernah menjabat sebagai Bupati Probolinggo 2003-2008 dan 2008-2013 Hasan Aminuddin. Tidak berhenti pada kasus tersebut, penyalahgunaan Dana Desa juga terjadi di Kecamatan Bengkelekila Toraja Utara, Sulawesi Selatan, yang dilakukan oleh mantan Kepala Desa dengan modus pemalsuan pertanggungjawaban keuangan atas proyek pekerjaan pembangunan Puskesmas dan Jalan Desa sebesar Rp 920.000.000,- pada tahun 2018 – 2019. Contoh kasus tersebut memberikan gambaran pengelolaan Dana Desa belum efektif. Dengan kondisi tersebut, lalu bagaimanakah Tata Kelola Dana Desa agar tepat sasaran?
Sebagai landasan pengelolaan Dana Desa, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 190/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Desa yang telah diubah dengan PMK Nomor 128/PMK.07/2022. Peraturan ini mengatur dengan jelas mengenai penyaluran, penggunaan, dan sanksi atas pengelolaan Dana Desa. Alokasi Dana Desa ditetapkan sebesar 10% dari total Dana Transfer ke Daerah dan akan dipenuhi secara bertahap sesuai dengan kemampuan APBN. Pemberian sanksi atas penyalahgunaan anggaran Dana Desa juga telah diatur secara tegas baik dalam UU, PP maupun dalam PMK, namun sanksi yang diberikan bersifat administratif. Hal tersebut nyatanya belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap akuntabilitas dan transparansi pengelolaan Dana Desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, seolah memberi angin segar bagi masyarakat desa untuk dapat memperoleh percepatan pembangunan Desa berupa pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, pemerataan kesenjangan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Substansi Undang-Undang ini mengatur reformasi kebijakan tentang Desa secara jelas. Salah satunya adalah perolehan Dana Desa yang secara rutin yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hibah, pendapatan asli desa, dan pendapatan lainnya yang sah. Seiring dengan perkembangan pembangunan Desa tujuan pemberian Dana Desa kepada pemerintah desa sepertinya sudah tidak sesuai peruntukkannya. Pada tahun 2021, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat sedikitnya 154 kasus korupsi yang ditangani oleh Instansi Penegak Hukum dengan jumlah tersangka sebanyak 245 orang dan menimbulkan potensi kerugian negara sebanyak Rp 233 miliar.
Penulis berpendapat bahwa perlunya peningkatan pengawasan dan pengoptimalan fungsi dari Stranas PK atau yang dimaksud dengan implementasi strategi pengawasan keuangan desa, perlunya peningkatan pemantauan dan evaluasi secara berjenjang dari tingkat Daerah (Kepala Daerah), KPPN Wilayah, sampai dengan tingkat Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal untuk mengevaluasi tingkat penyerapan dan penggunaan Dana Desa sesuai dengan prioritas Desa yang telah ditentukan. Selain itu memaksimalkan peran BPKP maupun Inspektorat secara internal pemeriksaan dan memperhatikan rekomendasi atas LHP yang dikeluarkan oleh BPK RI dalam melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan penggunaan Dana Desa. Dengan ada optimalisasi fungsi semua pihak baik eksternal dan internal diharapkan mampu meningkatkan efektifitas, efisiensi, serta ekonomis diharapan dapat tercipta pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel khususnya dalam penggunaan keuangan egara dan menghindari munculnya kerugian negara.
Penulis: Rindhang Pundhilaras, S.H., CLA adalah Kasubbag Perbendaharaan I – Biro Keuangan BPK RI, sedang menempuh program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta, Konsentrasi Hukum Litigasi.