Oleh : Dr. Dea Tunggaesti, S.H., M.M.
Kata mediasi pertama kali dikemukakan dalam bahasa latin yaitu mediere, yang berarti berada di tengah. Mediasi yang dipergunakan saat ini diserap dari Bahasa Inggris, yaitu mediation. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mediasi diberi makna sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Orang yang melakukan mediasi dinamakan mediator (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002).
Menurut Christopher W. Moore, mediasi adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak yang berselisih dalam upaya mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang disengketakan (Sutiyoso, 2008:57).
Menurut Folberg & Taylor, mediasi adalah suatu proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa orang, secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk mencari alternatif dan mencapai penyelesaian yang dapat mengakomodasi kebutuhan mereka (Emerson, 2001:68).
Menurut Umam (2010:10), mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana para pihak yang tidak memihak bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Pihak luar tersebut disebut dengan mediator, yang tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.
Dalam Kamus Hukum Indonesia pengertian mediasi adalah proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa (B.N. Marbun, 2006).
Menurut Priatna Abdurrasyid mediasi adalah proses damai dimana pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada mediator untuk mencapai hasil yang adil, tanpa biaya besar tetapi tetap efektif dan tetap diterima.
Sedangkan, menurut Perma 1/2016, mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator.
Adapun jenis dan bentuk mediasi dapat dilihat dari sisi tempatnya, mediasi terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
(a) Mediasi di Pengadilan
Mediasi di Pengadilan yang sejak dahulu dikenal. Para pihak yang mengajukan perkaranya ke pengadilan, diwajibkan untuk menempuh prosedur mediasi terlebih dahulu sebelum dilakukannya pemeriksaan pokok perkara
(b) Mediasi di Luar Pengadilan
Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam beberapa Peraturan Perundang-undangan, yang membentuk suatu badan penyelesaian sengketa. Perma 1/2016 juga mengatur ketentuan yang menghubungkan antara praktik mediasi di luar pengadilan yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) Perma 1/2016 mengatur sebuah prosedur hukum untuk akta perdamaian dari pengadilan tingkat pertama atas kesepakatan perdamaian di luar pengadilan. Prosedurnya adalah dengan cara mengajukan gugatan yang dilampiri oleh naskah atau dokumen kesepakatan perdamaian para pihak dengan mediasi atau dibantu oleh mediator bersertifikat. Pengajuan gugatan tentunya adalah pihak yang dalam sengketa itu mengalami kerugian (Perma 1/2016, Pasal 36).
Karakteristik Dan Unsur-Unsur Mediasi
Menurut Musahadi (2007:84), mediasi memiliki karakteristik dan ciri-ciri sebagai berikut:
(a) Terdapat pihak ketiga yang netral dan imparsial, artinya tidak terlibat dan/atau terkait dengan masalah yang disengketakan. Netral dan imparsial dalam arti juga tidak memihak terhadap salah satu poihak dan tidak bias.
(b) Dalam perkara yang memiliki sifat individual, mestinya pihak yang bersengketa yang memilih mediator, tetapi bisa juga mediator menawarkan diri, namun pihak yang bertikai harus setuju terhadap tawaran tersebut. Pihak ketiga harus dapat diterima oleh kedua belah pihak.
(c) Penyelesaian dibuat oleh pihak yang bersengketa, dan harus dapat diterima tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun.
(d) Tugas mediator terutama adalah menjaga agar proses negosiasi berjalan dan tetap jalan, membantu memperjelas apa sesungguhnya masalah dan kepentingan dari pihak yang bersengketa. Dengan kata lain peran mediator adalah mengontrol proses, sedang peran pihak yang bertikai adalah mengontrol isi dari negosiasi.
Prinsip-Prinsip Mediasi
Menurut Ruth Carlton (Hoynes dkk, 2004:16), terdapat lima prinsip yang mendasari mediasi sebagaimana dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi, yang terdiri dari: prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).
a. Prinsip Kerahasiaan (confidentiality)
Kerahasiaan sebagaimana dimaksud di sini merupakan segala sesuatu yang terjadi di dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik dan/atau pers oleh masing-masing pihak. Demikian juga diberlakukan terhadap mediator, dimana mediator harus menjaga kerahasiaan dari isi mediasi tersebtu, serta sebaiknya menghancurkan seluruh dokumen di akhir sesi yang dilakukan. Masing-masing pihak yang bertikai diharapkan untuk dapat saling menghormati unsur kerahasiaan dari masing-masing isu dan juga kepentingan.
b. Prinsip Sukarela (volunteer)
Masing-masing pihak yang bertikai datang ke mediasi atas dasar keingin dan kemauan sendiri secara sukarela dan tanpa adanya unsur paksaan serta tekanan dari pihak lain dan/tau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerja sama untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka, bila mereka datang ke tempat perundingan atas dasar pilihan mereka sendiri.
c. Prinsip Pemberdayaan (empowerment)
Prinsip ini pada pokoknya, didasarkan kepada asumsi bahwa orang yang menghadiri mediasi sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengosiasikan masalah yang disengketakan dan dapat mencapai kesepakatan yang diinginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus dapat diakui dan dihargai oleh karena itu, setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya.
d. Prinsip Netralitas (neutrality)
Dalam mediasi, peran dari seorang mediator hanya terbatas pada memfasilitasi proses mediasi, isi dari hal yang dimediasikan akan tetap menjadi hak dan milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol proses berjalan atau tidaknya mediasi tersebut. Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau benarnya salah satu pihak dan/atau mendukung pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.
e. Prinsip Solusi Yang Unik (a unique solution)
Bahwasannya solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak, yang terkait erat dengan konsep pemberdayaan masing-masing pihak.
Prosedur Pelaksanaan e-Mediasi Berdasarkan Perma 3/2022
a. Tahapan Awal
Verifikasi Identitas
Meskipun tidak diatur secara tegas dalam Perma 1/2016, dalam praktiknya hal ini telah diberlakukan oleh mediator untuk mengkonfirmasi identitas para pihak dan apakah kuasa hukum mereka berwenang untuk mewakili mereka. Jika para pihak adalah badan hukum, maka, proses ini akan meliputi lampiran dan pemeriksaan akta pendirian, anggaran dasar, dan dokumen identifikasi direksi mereka. Berdasarkan Perma 3/2022, verifikasi dapat dilakukan melalui sarana elektronik atau secara langsung. Perma 3/2022 tidak mengatur secara jelas terhadap bagaimana keberlakukan verifikasi pra-mediasi elektronik dilakukan (misalnya, apakah itu melibatkan pertemuan virtual dengan para pihak atau penyerahan dokumen secara elektronik). Menimbang bahwa verifikasi dalam praktiknya melibatkan pemeriksaan menyeluruh terhadap dokumen identifikasi para pihak (yaitu, membandingkan asli dengan salinan terverifikasi), mediator dapat memilih untuk melakukan verifikasi langsung sebelum melanjutkan dengan sesi virtual.
Memilih Aplikasi Digital
Mediator harus mengusulkan kepada para pihak aplikasi digital yang akan digunakan untuk mengadakan sesi mediasi virtual dan mengirimkan dokumen elektronik. Sampai saat ini, pengadilan Indonesia tidak mengoperasikan platformnya sendiri untuk mengadakan sidang virtual dan di masa lalu menggunakan program konferensi video independen saat menyelenggarakan sidang pengadilan virtual. Selain itu, sistem e-Court yang ada belum memfasilitasi kemungkinan penyampaian dokumen mediasi.
Para pihak akan menentukan aplikasi yang akan mereka gunakan berdasarkan kesepakatan tertulis, dan mereka akan menanggung biaya penyelenggaraan ruang rapat virtual untuk menyelenggarakan sesi mediasi.
b. Penyampaian Pernyataan Mediasi
Berdasarkan Perma 3/2022, pernyataan mediasi (resume perkara) seharusnya disampaikan secara elektronik kepada mediator. Jika para pihak telah memilih untuk menggunakan sistem e-Court sejak awal, pernyataan mediasi mereka akan disampaikan melalui sistem e-Court. Dalam hal mereka tidak memilih untuk menggunakan sistem e-Court tetapi setuju untuk melakukan mediasi secara elektronik, pernyataan mediasi mereka akan disampaikan secara elektronik. Namun, sistem e-Court yang ada belum menambahkan fitur penyampaian pernyataan mediasi, dan jika para pihak tidak memilih untuk menggunakan sistem e-Court, masih belum jelas bagaimana seharusnya pernyataan mediasi disampaikan secara elektronik.
c. Kesepakatan Penyelesaian
Jika para pihak secara damai menyelesaikan perselisihan mereka melalui e-mediasi, mereka dapat menyusun perjanjian penyelesaian mereka secara elektronik dengan bantuan mediator. Sambil menunggu pedoman untuk mengimplementasikannya, hal ini dapat dilakukan melalui pertukaran email, seperti bagaimana penyusunan perjanjian penyelesaian telah dilakukan dalam praktiknya.Penandatanganan perjanjian penyelesaian juga dapat dilakukan dengan menggunakan tanda tangan elektronik yang telah divalidasi. Artinya, tanda tangan elektronik harus disahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dalam hal para pihak tidak dapat memberikan tanda tangan yang sah, mereka harus bertemu secara fisik untuk menandatangani perjanjian penyelesaian di hadapan mediator. Mediator kemudian akan melaporkan hasil mediasi kepada majelis hakim melalui sistem e-Court.
Penulis : Dr. Dea Tunggaesti, S.H., M.M. adalah Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila