Oleh: Yohanis Bosko Ulukyanan
Reforma Agraria merupakan penataan ulang keseluruhan lahan dan/atau tanah di Indonesia, namun pelaksanaannya harus memperhatikan Hak-Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat setempat. Pelaksananaan reforma agraria di Papua Barat misalnya, telah berlangsung sejak tahun 2020 dan terus didorong oleh Kementrian ATR/BPN melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat yang salah satu poin pentingnya adalah meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah melalui sertifikasi hak atas tanah, penataan dan publikasi batas kawasan hutan dan non hutan dalam skala kadaster, dan pendaftaran tanah adat atau ulayat sesuai hasil inventarisasi masyarakat hukum adat dan tanah adat atau ulayat yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah melalui Perdasus Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Pembangunan Berkelanjutan di Provinsi Papua Barat
Perdasus ini menjadi dasar hukum utama pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat termasuk di wilayah Kabupaten Manokwari, karena mengatur hal ihkwal tentang proses pengakuan sampai pasca pengakuan masyarakat hukum adat. Namun dalam Permen ATR/BPN Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, yang menyatakan bahwa definisi hak komunal dalam pasal 1 ayat (1), adalah hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat, atau hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada dikawasan tertentu.
Sehingga pemberian sertifikat hak komunal atas nama anggota masyarakat adat membawa implikasi hukum kepemilikan tanah komunal telah berubah menjadi kepemilikan individu. Jika kita melihat dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua pada pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. Kesatuan-kesatuan masyarakat yang disebut sebagai masyarakat hukum adat memiliki kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua.
Sebagai contoh pelaksanaan reforma agraria di wilayah Kabupaten Manokwari menggunakan eks tanah adat yang meliputi Distrik Manokwari Utara, Distrik Masni, Distrik Prafi dan Distrik Sidey yang telah dilepaskan secara adat. Di wilayah ini tanah adat dikuasai secara komunal dan didiami oleh suku Arfak Meyah telah memiliki lima persyaratan untuk mendapatkan pengakuan bagi masyarakat hukum adat yaitu sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan benda-benda adat, serta kelembagaan atau sistem pemerintahan adat.
Hal ini sejalan dengan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Masyarakat Hukum Adat Arfak memaknai hak ulayat dalam arti luas sebagai hak yang dikuasai oleh warga persekutuan baik suku, kampung, dan marga yang meliputi hak memanfaatkan tanah, hutan, air, berburu, mengambil hasil hutan. Perlu dicermati dalam hal penataan aset di wilayah Kabupaten Manokwari, tanah yang dikuasai masyarakat hukum adat merupakan warisan secara turun-temurun oleh leluhur dan orangtua mereka yang sudah lama menempati dan membangun wilayah tersebut, sehingga telah ada batas-batas wilayah masyarakat hukum adat.
Sementara penataan akses melalui pemanfaatan pertanahan adat sebagai bagian dari untuk kegiatan eksploitasi tambang dan perkebunan harus diimbangi dengan pengetahuan masyarakat hukum adat terhadap pemenuhan hak-hak atas tanah. Dalam hal ini menurut penulis langkah terpenting yang harus dilakukan oleh Pemerintah melalui Pemerintah Provinsi Papua Barat adalah dengan melakukan upaya percepatan inventarisasi masyarakat hukum adat agar segera mendapatkan pengakuan dan kepastian hukum. Sehingga kedepannya tidak terjadi tumpang tindih regulasi dan kebijakan yang berpotensi memunculkan konflik pertanahan di wilayah Papua Barat yang dapat merugikan masyarakat hukum adat.
Penulis: Yohanis Bosko Ulukyanan, adalah mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pancasila